PebisnisMuslim.Com - Oleh: Imam Nawawi
Di tengah kondisi negeri yang carut marut dan centang perenang, negeri ini ‘dihadiahi’ sebuah fenomena yang menyita perhatian dan dalam beberapa hal cukup memberikan kontribusi bagi kelangsungan hidup warga, terutama di Jakarta. Go-Jek, ya inilah sesungguhnya – setidaknya menurut saya – wujud nyata dari yang namanya revolusi sosial.
Go-Jek sebagai sebuah sistem telah mensolusikan beberapa hal sekaligus. Dari sisi pengangguran, Go-Jek mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Dari sisi kemudahan dan kecepatan, jelas Go-Jek bisa menjawab, terutama di tengah kondisi jalanan yang padat, rapat dan macet. Terlepas dari respon sebagian pihak yang menyebut Go-Jek memiliki banyak sisi kelemahan, terutama pada aspek keamanan, sesungguhnya ada yang patut diperhatikan dan dipelajari secara seksama oleh pemerintah di negeri ini.
Ito Prajna-Nugroho dalam kolom opini Kompas (04/09) menulis bahwa dalam segala sektor, masyarakat perlu program-program terobosan lintas kementerian yang hanya dapat terjadi jika masing-masing kementerian melepaskan ego sektoralnya.
Sekalipun tulisan tersebut diarahkan untuk penanganan dan antisipasi konflik, namun yang sebenarnya terjadi selama ini boleh dikatakan yang namanya koordinasi dan komitmen untuk pembangunan secara sinergi belum betul-betul mewujud. Padahal, secara logika, anggaran sudah ada, fasilitas juga tersedia, tetapi mengapa revolusi (kemajuan) sosial rakyat tidak segera tercipta.
Inspirasi Go-Jek
Go-Jek sejatinya tidak sekadar menjadi tren, tetapi telah menjawab kebutuhan sebagian besar masyarakat pada dua lapisan sekaligus. Lapisan yang katakan berekonomi lebih bisa menggunakan jasa Go-Jek dan lapisan berekonomi lemah bisa terbebas dari derita pengangguran, sehingga mereka aktif bekerja dan mampu menafkahi keluarga. Selain itu, Go-Jek (meski ini relatif) mampu mengurangi kemacetan, sehingga efisiensi energi dan waktu benar-benar dicapai.
Dan, yang terpenting Go-Jek juga berkontribusi terhadap penekanan potensi angka kriminal akibat pengangguran secara massif. Bahkan lebih dari itu, Go-Jek memanfaatkan kecanggihan piranti teknologi, sehingga meski sama-sama ngojek Go-Jek bisa diterima oleh masyarakat Indonesia yang gaya hidupnya sudah tidak bisa lepas dari gad get.
Sayangnya, terobosan – yang kembali menurut saya sebagai revolusi sosial – semacam ini justru diinisiasi oleh swasta, tepatnya individu dari warga negara. Dan, tentu semua orang angkat topi untuk founder aplikasi Go-Jek. Tetapi, yang mengusik hati adalah mengapa pemerintah belum mampu melahirkan terobosan-terobosan penting yang bisa menjawab masalah atau kebutuhan warga negaranya.
Berarti, tidak berlebihan jika Go-Jek disebut telah merealisasikan revolusi sosial dalam konteks yang sangat bermartabat. Bukan untuk menciptakan perubahan massif dengan kekuatan politik secara militer, sebagaimana pengertian revolusi sosial kaum sosialis. Tetapi, perubahan sosial yang elegan, progressif dan solutif. Dalam skalanya saat ini, Go-Jek telah memberikan inspirasi.
Inovasi Sosial
Inspirasi Go-Jek semestinya mendorong negeri ini untuk melakukan inovasi-inovasi sosial. Meski hari ini nampak sulit, secara gagasan anak bangsa tidak boleh berhenti untuk terus mendorong ini sebagai mindset bangsa ke depan. Seperti Go-Jek, negeri ini butuh inovasi sosial yang benar-benar kreatif, solutif dan tentu saja progressif, sehingga masyarakat kian cerdas, mandiri dan sejahtera.
Andaikata pemerintah tidak berksempatan menciptakan inovasi sosial, maka di sinilah sesungguhnya ruang luas terbuka lebar untuk organisasi massa, organisasi kepemudaan dan segala macam komunitas kreatif untuk membantu negara ini segera mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Termasuk juga lembaga pendidikan Islam seperti pesantren.
Ketika elemen-elemen penting di negeri ini berpikir bagaimana menciptakan inovasi sosial, maka segala macam isu yang tidak penting akan tersingkirkan dengan sendirinya. Misalnya, bagaimana menjadikan pesantren berdaya secara ekonomi yang kemudian radius satu kilometer dari 8 penjuru mata angin penduduk desa berada ikut terberdayakan secara ekonomi. Artinya, konsep gotong royong itu tidak kemudian termanives hanya pada sisi kerja bakti, tetapi juga kemandirian dan kesejahteraan bersama-sama dengan tanpa menganut paham sosialis.
Namun, pemerintah tidak boleh tinggal diam, asyik mengerjakan apa yang menjadi programnya sendiri. Harus ada ‘radar-radar canggih’ yang harus dimiliki guna mendeteksi dan mendata upaya-upaya konkret masyarakat dalam menciptakan kemungkinan terlahirnya inovasi sosial untuk terciptanya revolusi sosial yang modern, elegan, progressif dan mensejahterakan.
Jika Go-Jek mampu menghadirkan apa yang belum terpikirkan oleh siapapun sebelumnya, mengapa tidak dengan sinergi pemerintah dan warga negaranya bisa menciptakan inovasi sosial yang saling melengkapi untuk Indoensia lebih baik?
Menghidupkan Potensi Negara
Negara dengan penduduk sebsesar 250 juta jiwa sejatinya adalah negara yang berpeluang memiliki kekuatan besar dalam segala sektor. Tetapi, tanpa adanya upaya-upaya konkret untuk tercitpanya inovasi sosial, kuantitas justru akan menjadi beban. Dan, inilah yang selama ini dijadikan alasan oleh sebagian pihak untuk menyatakan bahwa dirinya tidak gagal dalam membawa perbaikan bangsa ini.
Tetapi, apakah logika itu relevan bagi China? Tidak. China justru muncul sebagai kekuatan dunia yang dalam beberapa hal mampu mengungguli negara-negara maju. Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia tidak perlu teori macam-macam untuk menjadi negara besar. Cukup dengan menghidupkan potensi yang terpapar di seluruh ruang NKRI. Mulai dari pangan, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan. Semua itu adalah potensi yang sejauh ini belum benar-benar dihidupkan. Dan, untuk ini relatif mudah sejauh ada kemauan.
Misalnya, katakan suatu daerah memiliki kekuatan ekonomi pada perikanan. Apakah sulit bagi pemerintah menjadikan daerah tersebut sebagai daerah termaju dalam perikanan yang kemudian daerah-daerah lain bisa belajar dan mengadopsi untuk daerah-daerah lainnya.
Apakah sulit pemerintah memajukan satu daerah yang kaya hasil kebunnya, lantas menjadikan daerah itu sebagai centra pembelajaran pengelolaan kebun yang modern berikut kebijakan pemasaran dan distribusinya.
Jika, permisalan tersebut ditopang dengan menggunakan piranti teknologi, sungguh rakyat Indonesia yang jadi petani pun tidak akan sekadar sejahtera, tetapi juga bangga. Karena di zaman ini, petani pun bisa berkomunikasi dengan high techology layaknya masyarakat ibukota dan dunia. Masalahnya tinggal ada tidak kemauan untuk menjadi inisiator revolusi (perubahan) sosial sebagaimana Go-Jek telah menjadi yang terdepan dalam skalanya.
Sumber: Hidayatullah
0 komentar:
Posting Komentar