majalahtabligh.com

Hadis Serba Larangan dalam Jual Beli

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
Tidak halal menggabungkan utang dengan jual beli, tidak pula dua syarat dalam jual beli, tidak pula keuntungan tanpa ada pengorbanan, dan tidak pula menjual barang yang tidak kamu miliki. (HR. Ahmad 6671, Abu Daud 3506, Turmudzi 1279 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Dalam hadis yang ringkas ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panduan dalam sistem transaksi jual beli manusia, yang tentu saja transaksi itu ada di masa silam.
Empat larangan yang beliau sebutkan,
  1. Tidak boleh menggabungkan utang dengan jual beli
  2. Tidak boleh ada 2 syarat dalam jual beli
  3. Tidak boleh mengambil keuntungan tanpa ada usaha dan pengorbanan
  4. Tidak boleh menjual barang yang tidak dimiliki..
Kita akan kupas lebih rinci, makna dan cakupan setiap bentuk transaksi yang dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama, Tidak boleh menggabungkan utang dengan jual beli
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
“Tidak halal menggabungkan salaf (utang) dengan jual beli.”
Ada dua bentuk penggunaan untuk kata salaf dalam bahasa arab, pertama untuk menyebut utang dan kedua untuk menyebut jual beli salam.
Kata salaf dalam hadis ini maknanya adalah utang. Sebegaimana keterangan al-Baghawi (Nailul Authar, 5/213).
Dalam Syarh Turmudzi, disebutkan keterangan Imam Ahmad,
Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad,
“Apa makna laragan beliau, menggabungkan utang dengan jual beli?”
Jawab Imam Ahmad,
“Bentuknya, si A memberi utang kepada si B, kemudian mereka melakukan transaksi jual beli sebagai syarat tambahannya. Bisa juga bentuknya, si A mengutangi si B, lalu ketika menagih, dia mengatakan, “Kalau tidak bisa melunasi sekarang, kamu wajib jual barangmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/361)
Berdasarkan keterangan Imam Ahmad, makna hadis ini mencakup dua hal,
Pertama, berutang dan disyaratkan sekaligus melakukan jual beli yang bisa jadi harganya tidak standar.
Misalnya, si A berutang ke si B. dan si B bersedia memberi bantuan dana kepada si A, dengan syarat si A harus melepas tanahnya untuk dibeli si B.
Kedua, si A berutang ke si B. ketika jatuh tempo, si B menagih dan meminta, “Jika kamu tidak punya uang untuk melunasi, barangmu ini saya beli.”
Illah Larangan Menggabungkan Utang dengan Jual Beli
Apa yang menjadi latar belakang larangan utang dan jual beli.
Ini kembali kepada kaidah baku tentang riba, sebagaimana yang dinyatakan Fudholah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu,
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan, maka itu adalah riba.” (HR. Baihaqi).
Yang terjadi, ketika seseorang mempersyaratkan adanya jual beli untuk transaksi utang piutang, pihak kreditor akan mengambil keuntungan dari utang yang dia berikan, minimal dalam bentuk terlaksananya akad jual beli.
Dalam kondisi normal, orang tidak akan bersedia ketika dirinya dikendalikan orang lain dalam melakukan transaksi. Dia memiliki kebebasan untuk menjual atau mempertahankan barangnya. Sehingga ketika ini dilakukan, kemungkinan besar karena pengaruh utang yang diberikan. Inilah keuntungan di balik utang.
Syaikh Athiyah Muhammad Salim mengatakan,
Illah larangan menggabungkan jual beli dengan utang, terkait kemungkinan adanya riba. Baik barang itu milik kreditor maupun milik debitor. (Syarh Kitab al-Buyu:http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=134909)
Berlaku untuk Semua Transaksi Komersial
Ada transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli, sewa-menyewa, dst. Para ulama menyebutnya transaksimuawwadhat. Dan ada transaksi yang bertujuan memberikan bantuan, kepentingan sosial. Para ulama menyebutnya transaksitabarru’at.
Islam memotivasi umatnya, agar dalam transaksi tabarru’at, semangat yang ditekankan adalah membantu orang lain. Islam juga melarang umatnya untuk memancing di air keruh. Memanfaatkan suasana musibah yang dialami saudaranya.
Karena itulah, para ulama menyebutkan bahwa kasus yang disebutkan dalam hadis di atas, tidak hanya terbatas untuk skema jual beli dan utang. Tapi berlaku meluas untuk setiap transaksi muawwadhat dan transaksi tabarru’at. Jual beli mewakili transaksi muawwadhat, sementara utang piutang mewakili transaksi tabarru’at.
Terdapat kaidah,
“Tidak boleh digabungkan antara transaksi komersial dengan transaksi sosial.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, 10/962 – Syarh Bulughul Maram, Kitab Buyu’, Jami’ Syaikhul Islam, hlm. 47).
Berasarkan kaidah di atas,
Tidak boleh menggabungkan utang dengan sewa-menyewa,
Tidak boleh menggabungkan utang dengan penanaman modal (mudharabah).
Allahu a’lam
Bersambung insyaaAllah..
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Share on Google Plus

About PebisnisMuslim.com

Pebisnis Muslim News adalah situs informasi bisnis dan ekonomi Islam yang dikelola oleh Pebisnis Muslim Group.

0 komentar:

Posting Komentar