Lebih dari 2.000 pengungsi yang sudah berpekan-pekan berada di Provinsi Edirne, perbatasan Turki bagian barat laut, mengatakan ingin pergi ke Eropa –terutama Jerman– karena di Turki “tidak ada harapan hidup”.
Kebanyakan pengungsi yang berbicara kepada Today’s Zaman hari Selasa (22/9/2015) di Stadion Edirne, yang dijadikan penampungan sementara, menyebut Jerman sebagai “negara impian” mereka. Namun pada saat yang sama, mereka kurang tertarik menyeberangi Laut Aegea, karena banyaknya laporan tentang perahu pengungsi yang terbalik dan tenggelam.
Kepada Today’s Zaman dengan terang-terangan Ahmet Mesur, 39, mencerikatan kondisi kebanyakan pengungsi.
“Turki itu seperti surga, tetapi tidak ada belas kasihan dan kepedulian di dalamnya,” kata pengungsi Suriah yang di negeri asalnya bekerja sebagai guru itu. Di Turki dia bekerja sebagai buruh bangunan, tetapi tidak dibayar meskipun sudah memeras keringat selama 45 hari.
“Kami manusia, bukan binatang,” ujarnya, protes.
Ketika ditanya alasan ingin meninggalkan Turki, Mesur berkata, “Sewa (rumah) termurah di Istanbul TL1.000 (± 4,8 juta rupiah), anak-anak kami sudah tidak bersekolah selama tiga tahun dan di rumah sakit umum kami hanya diperiksa tetapi tidak diberi obat-obatan, yang mana harganya mahal.”
Kerim, bocah laki-laki berusia 12 tahun asal Aleppo, adalah anak tertua dari lima bersaudara yang tiba di Turki dua tahun silam. Dia bekerja mengumpulkan sampah di Istanbul dan tidak pernah bersekolah selama di Turki. Ayahnya bekerja mengumpulkan ban-ban bekas. Menerjemahkan ucapan ibunya, Kerim mengatakan (ibunya) ingin meninggalkan Turki sebab tidak ada uang cukup di negara itu, harga sewa tinggi dan tidak ada pekerjaan.
Yakup Hama, 35, sudah berada di Turki selama tujuh bulan. Pria itu mengeluh tidak bisa mendapatkan izin bekerja, sementara biaya hidup di Turki sangat tinggi. Yakup pergi ke Edirne –yang berbatasan dengan Yunani– setelah membaca tentang pengungsi-pengungsi lain dari Facebook.
Menurut Yakup, para penyelundup (manusia) lokal kongkalikong dengan pemerintah Turki membohongi pengungsi. Dia hanya berharap pemerintah Turki memberikan izin kepadanya untuk pergi ke Yunani.
Yakup ingin pergi ke negara Uni Eropa, karena istrinya yang saat ini sedang mengandung yakin bayi mereka akan memiliki masa depan yang baik di sana, tidak seperti di Turki.
“Jika istri saya melahirkan di sini, bayi kami bahkan tidak akan mendapatkan surat-surat atau identitas,” kata Yakup.
Hal yang paling banyak dikeluhkan para pengungsi Suriah di Edirne adalah sulitnya mendapatkan izin tinggal dan bekerja. Mereka mengatakan, untuk mendapatkan izin-izin itu mereka setidaknya dimintai uang TL1.500 (± Rp7,26 juta) perorang. Mereka juga merasa diperlakukan seperti budak, karena harus bekerja dengan upah sangat kecil dan seringkali tidak dibayar pada waktunya.
Menurut Iymad, 24, pengungsi Suriah tidak memiliki pekerjaan, tidak mendapatkan identitas dan nomor kependudukan di Turki. Seperti kebanyakan pengungsi Suriah lainnya, pemuda asal Aleppo itu mengeluhkan tingginya harga sewa dan upah yang sangat rendah
Sumber: Hidayatullah
0 komentar:
Posting Komentar