PebisnisMuslim.Com - oleh Salim A. Fillah
Kepada Yang Terhormat,
Presiden Republik Indonesia
Presiden Republik Indonesia
Keselamatan, kasih sayang Allah, dan kebaikan yang tiada henti bertambah semoga dilimpahkan ke atas Ayahanda Presiden,
Sungguh benar bahwa cara terbaik menasehati pemimpin adalah dengan menjumpainya empat mata, menggandeng tangannya, duduk mesra, dan membisikkan ketulusan itu hingga merasuk ke dalam jiwa. Tapi tulisan ini barangkali tak layak disebut nasehat. Yang teranggit ini hanya uraian kecil yang semoga menguatkan diri kami sendiri sebagai bagian dari bangsa ini untuk menghela badan ke masa depan yang temaram.
Mengapa ia di-kepada-kan untuk Ayahanda; harapannya adalah agar huruf-huruf ini kelak menjadi saksi di hadapan Allah dan semesta akan cinta kami kepada Indonesia. Syukur-syukur jika ia mengilhami para pemimpin yang berwenang-berdaulat, untuk melakukan langkah-langkah yang perlu bagi kemaslahatan kami. Dan bermurah hatilah mendoakan kami Ayahanda, agar jikapun kami hanya rumput yang kisut, ia tetap dapat teguh lembut dan tak luruh dipukul ribut bahkan ketika karang pelindung kami rubuh lalu hanyut.
Ayahanda Presiden, izinkan kami memulai hatur-tutur ini dengan sebuah kisah.
Ini adalah masa kepemimpinan Sayyidina ‘Umar ibn Al Khaththab, tahun 18 Hijriah. Musim panas berkepanjangan disertai angin kering membawa debu-abu menghantam negeri yang baru saja tumbuh itu. Panen hancur, tetanaman musnah, ternak binasa, diikuti 2 tahun kelaparan yang melanda sebentang jazirah dari Yaman, Hijjaz, Yamamah, hingga Nejd; sementara wabah dari arah Syam turut mengganas hingga ke Madinah.
Masa itu lalu dikenal sebagai ‘Tahun Ramadah’, sebagaimana ditulis Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, karena bumi tampak hitam kelabu seperti warna ramad (abu jelaga). Ibn Manzhur sebagaimana dikutip dalam Lisanul ‘Arab menyatakan, “Ramada, atau armada; adalah ungkapan jika terjadi kebinasaan. Disebut tahun ramadah sebab musnahnya sebagian manusia, tumbuhan, ternak, dan harta benda pada saat itu.”
Dampaknya yang dahsyat digambarkan Ibn Sa’d dalam Ath Thabaqatul Kubra, “..Hingga manusia terlihat mengangkat tulang yang rusak dan menggali lubang tikus untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.” Langkanya bahan pangan membuat harga melambung, sampai Imam Ath Thabary dalam Tarikh-nya menyebut, pada masa itu harga satu bejana susu dan sekantong keju mencapai 40 dirham.
Demikianpun, dinar dan dirham seakan benar-benar tiada guna karena jikapun ada uang berapa saja banyaknya, barang yang hendak dibeli sama sekali tiada. Kita tak lupa, paceklik ramadah terjadi tak berselang lama dari masa ketika perbendaharaan Kisra yang bertimbun-timbun diangkut ke Madinah pada tahun 14 Hijriah, juga hanya sebentar sebakda Syam dan Mesir yang makmur bergabung ke pangkuan Daulah.
Ayahanda Presiden,
Seakan-akan Allah hendak menunjukkan, bahwa ujianNya adalah kepastian berupa secicip ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan untuk memberi kabar gembira pada orang-orang yang sabar. Seakan-akan Allah hendak memperlihatkan, bahwa hari-hari di antara manusia memang dipergilirkan, lapang dan sempitnya, jaya dan prihatinnya. Seakan-akan Allah hendak menampakkan bahwa bahkan dalam Khilafah Rasyidah, masyarakat orang-orang shalih dengan pemimpin yang adil, tidak ada jaminan bebas dari krisis.
Tapi dengan cara ini pula Allah memperlihatkan kualitas seorang pemimpin, kualitas kepemimpinannya, dan kualitas mereka yang dipimpinnya. Inilah kesejatian sebuah peradaban; pada mutu jiwa manusianya, bukan kemewahan hidup dan kemegahan bebangunnya.
Masih tergambar jelas ketika ‘Umar menangis menyaksikan emas dan perak, permata dan sutra, permadani dan pernak-pernik mahal tiba dari Qadisiah dan Madain. Ketika itu ‘Abdurrahman ibn ‘Auf bertanya, “Mengapa engkau menangis wahai Amiral Mukminin? Padahal Allah telah memenangkan agamaNya dan memberikan kebaikan pada kaum mukminin lewat kepemimpinanmu?”
“Tidak demi Allah”, sahut ‘Umar. “Ini pastilah bukan kebaikan yang murni dan sejati. Seandainya ia adalah puncak kebaikan, niscaya Abu Bakr lebih berhak ini terjadi pada masanya daripada aku. Dan niscaya pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih berhak ini terjadi pada masa beliau daripada kami.” Lalu ‘Umar terus menangis mengkhawatirkan adanya fitnah yang akan timbul pada ummat Muhammad gegara harta itu. Setelah agak reda dari sesenggukannya, dia berkata, “Betapa amanahnya pasukan ini, dan betapa amanah pula panglimanya, Sa’d ibn Abi Waqqash.”
“Ini semua karena engkau”, sambut ‘Ali ibn Abi Thalib, “Tak menyimpan di dalam hatimu sebersitpun hasrat pada kekayaan dunia itu. Seandainya saja di dalam dadamu ada setitik saja syahwat terhadap perbendaharaan harta itu, niscaya pasukanmu akan saling bunuh demi memperebutkannya.”
Empat tahun kemudian kala menyaksikan Ramadah, ‘Umar kembali menangis. “Akankah ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam binasa di bawah kepemimpinanku?”, gerunnya berulang-kali. Saat itu, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf pula menguatkannya. “Tidak wahai Amirul Mukminin. Betapa telah berbedanya keadaan disebabkan keberkahan kepemimpinanmu?”
“Apa maksudmu wahai ‘Abdurrahman?”, sahut ‘Umar.
“Tidakkan kau perhatikan musibah dan orang-orang ini? Seandainya bencana ini terjadi di masa jahiliah, niscaya kaum Arab kesemuanya pasti sudah saling bunuh untuk memperebutkan sebulir gandum atau setetes air. Tapi lihatlah mereka ini; mereka semua bersabar dan teguh, mereka menangis tapi ridha kepada takdir Allah, mereka saling berbagi dengan mengutamakan saudaranya, serta bahu-membahu menghadapi semuanya dengan ketabahan yang takkan terbayangkan di masa dahulu.”
Pada zaman itu; bersebab kualitas manusianya, dalam krisispun jiwa mereka tampak berkilau, bersinar dari celah-celah berkah. Dalam makmur ataupun paceklik, suka dan duka, lapang serta sempit; mereka menunjukkan kualitas mental tertinggi yang akan menjadi modal peradaban Islam hingga abad-abad berikutnya. Ayahanda Presiden yang terhormat; andai diizinkan lancang memberi usul, betapa indah kalau program Revolusi Mental merujuk ke zaman ini.
***
Sementara itu Ayahanda,
Dalam makalahnya untuk Conference on Monetary Policy and Financial Stability in Emerging Markets di Istanbul, 13-15 Juni 2014, Guru Besar Ekonomi Harvard-Kennedy School, Jeffrey Frankel merujuk kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam tentang tafsirnya atas mimpi sang raja; tujuh sapi kurus yang memakan tujuh lembu gemuk dan tujuh runggai gandum yang segar penuh bulir serta tujuh tangkai yang kering lagi kopong.
“Supaya kalian bertanam 7 tahun sebagaimana biasa. Maka apa yang kalian tuai hendaklah kalian biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kalian makan. Kemudian sesudah itu akan datang 7 tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kalian simpan untuk menghadapi tahun-tahun paceklik, kecuali sedikit dari bibit gandum yang kalian simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan di masa itu mereka memeras anggur.” (QS Yusuf [12]: 47-49)
Frankel menggambarkan, seakan daur itu suatu pola yang dapat kita gunakan untuk membaca datang dan perginya paceklik di zaman kita. Dia menyebutnya, The Joseph Cycle.
Selama tujuh tahun antara 1975 hingga 1981, Oil Booming melimpahkan lonjakan pendapatan pada negara-negara penghasil minyak. Minyak mendapat gelar baru; emas hitam, dan istilah ‘petro dollar’ menggambarkan kekayaan negeri-negeri yang berlipat karenanya. Seakan menepati Daur Yusuf, setelah itu terjadi krisis utang global yang bermula di Meksiko pada tahun 1982. Hingga 1989, tahun-tahun ini disebut sebagai The Lost Decade di Amerika Latin.
Di rentang tahun 1990-1996, pola yang mirip terjadi lagi di kala muncul gejala emerging markets booming. Negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang dahsyat selama 7 tahun. Julukan Asian Tigers bagi mereka, di mana Indonesia dimasukkan sebagai salah satunya, mewarnai satu zaman yang gempita oleh apa yang disebut sebagai Asian Economic Miracles. Namun segera setelah itu terjadi krisis ekonomi Asia pada tahun 1997, yang seakan melibas dan membawa pada financial droughts hingga 7 tahun berikutnya.
Menurut Frankel dalam presentasinya yang bertajuk “What will happen to EMs when the Fed tightens?” itu, pola yang sama akan kembali terulang dalam rentang 2004-2018 ketika terjadi financial markets booming yang ditandai dengan maraknya produk derivatif lengkap dengan segala rekayasa keuangannya. Istilah “Carry Trade” dan perkembangan negara-negara yang disebut BRICs akan menjadi pemantiknya. Awalnya, selama tujuh tahun pasar keuangan berkembang dengan fantastis. Lagi-lagi seakan menyesuaii Siklus Yusuf, setelah itu kita juga mengalami krisis keuangan global.* (BERSAMBUNG)
Twitter: @salimafillah
FB: Salim A. Fillah
FB: Salim A. Fillah
0 komentar:
Posting Komentar