Dahulu masyarakat primitif menggunakan energi dari kayu bakar di sekitarnya, maka energi itu available untuk semua orang dan tidak perlu membayar. Masyarakat modern kini mengirimkan tabung-tabung yang sangat berat – lebih berat dari energi yang dikandungnya – dua arah pulang pergi ketika dalam kondisi berisi maupun kosong. Akibatnya energi menjadi sangat mahal dan tidak selalu available bagi semua orang. Lantas siapa yang lebih pinter ?
Manusia modern harusnya lebih pinter mengatasi urusan kehidupannya, namun karena dalam urusan kehidupan ini begitu banyak unsur kepentingan – sehingga solusi yang dikeluarkannya tidak selalu in the best interest dari masyarakat keseluruhan. Urusan energi adalah salah satu contoh kasus saja.
Coba Anda bayangkan, untuk gas 3 kg, tabung kosongnya seberat 5 kg. Dan tabung gas ini harus berjalan kadang begitu jauh pulang dan pergi dengan ongkos yang relatif sama – karena pengangkut umumnya bukan hanya berdasarkan berat tetapi juga volume, volume tabung gas tidak berkurang ketika dalam kondisi kosong.
Seandainya kakek nenek leluhur kita dahulu bisa memprediksi masa depan, mungkin akan ada dialog semacam ini :
“Kasihan anak cucu kita kelak, di awal millennium ketiga – untuk memperoleh ‘kayu bakar’ atau api – mereka harus mengangkut wadah-wadah yang sangat berat, melebihi berat ‘kayu bakar’ itu sendiri, pulang dan pergi ketika wadah tersebut berisi maupun wadah tersebut kosong.” kata orang pinter pada jamannya.
Yang lain kemudian bertanya : “Mengapa mereka melakukan itu ? bukankah mereka harusnya lebih maju dari kita-kita saat ini ? bukankah mereka harusnya lebih pinter mengatasi masalahnya ? bukankah mereka akan memiliki apa yang disebut teknologi ?”
Orang pinter tersebut kemudian menjelaskan : “Tidak, mereka melakukan ini bukan karena kebodohannya. Mereka melakukannya karena pemimpin mereka memutuskan demikian, dan rakyatnya mengikutinya serta merta tanpa mempertanyakan kebijakannya tersebut. Orang pinternya diam, rakyat kebanyaknya tidak memiliki pilihan”.
Situasi itulah yang kita alami saat ini. Rakyat seperti kita-kita tidak punya pilihan untuk energi rumah tangga selain gas, bisa saja kita menggunakan kompor listrik tetapi jauh lebih mahal jatuhnya. Karena tiadanya pilihan ini, maka meskipun menjerit kemahalan – gas tetap kita beli.
Indonesian Corruption Watch (ICW) beberapa bulan lalu coba berteriak dengan mengungkap fakta bahwa menurut mereka Pertamina sampai Agustus tahun ini atau 8 bulan di tahun ini saja mengambil keuntungan secara tidak wajar sebanyak Rp 978.3 Milyar dari hasil jualan gas LPG 12 kg saja.
Akibat dari biaya transportasi dua arah yang mahal plus keuntungan pengelola yang berlebihan inilah rakyat membayar biaya energi yang sangat mahal. Rakyat tanpa sadar melakukannya bukan karena memang maunya demikian, tetapi karena tidak adanya pilihan lain hingga saat ini.
Saya melihat peluang dimana rakyat seharusnya dapat memperoleh energi yang jauh lebih bersih dan jauh lebih murah dengan menggunakan pellet biomassa yang bahannya melimpah di sekitar kita. Apa saja yang tumbuh di sekitar kita berpotensi menjadi energi biomassa.
Teman-teman yang sudah memproduksinya bisa menjual dengan harga tidak lebih dari Rp 2,000/kg sampai di tingkat konsumen akhir untuk pellet dengan tingkat kalori sekitar 4,500 kcal/kg. Bayangkan dengan harga gas yang di kisaran Rp 12,000 /kg untuk tingkat kalori sekitar 11,700 kcal/kg. Artinya biaya gas lebih dari Rp 1.00 /kcal , sedangkan energi dari pellet biomassa hanya di kisaran Rp 0.44/kcal atau kurang dari separuh harga energi gas LPG !
Untuk membakar pellet biomassa juga sangat sederhana, santri-santri kami di Madrasah Al-Filaha bahkan bisa membuatnya dari dua kaleng bekas. Bila sedikit dikembangkan dengan sentuhan teknologi dan kreativitas, kompor-kompor biomassa ini akan bisa menarik masyarakat jaman modern ini sekalipun. Kompor biomassa yang berbasis teknik gasifikasi inilah yang sangat berpotensi menjadi energi bersih dan murah itu.
Selain bersih dan murah, kompor biomassa juga tentu jauh lebih aman dari kompor gas karena tidak ada potensi ledakan. Kompor gas hanya aman bila dirawat dengan baik, terutama selang-selang dan koneksi-nya ke tabung. Tetapi kapan terakhir kalinya Anda memeriksa selang tabung gas Anda ?
Karena sangat jarangnya kita merawat kompor gas kita, maka yang lebih sering terjadi adalah apa yang disebut near loss incident – atau bahasa kitanya adalah kejadian yang ‘nyaris saja terjadi’ – saat itulah kita baru ingat merawatnya. Bagaimana kalau terlanjur bener-bener terjadi ledakan ? itulah yang kita sering melihatnya di TV saat sudah menjadi berita, saat itu semua perawatan menjadi terlambat.
Bisa jadi konsep energi pellet biomassa masih juga perlu banyak yang dikembangkan, tetapi berilah rakyat ini pilihan – agar kita bisa mandiri dalam bidang energi, karena dengan kemandirian energi inilah nantinya kita insyaAllah juga bisa mandiri pangan dan berbagai keperluan lainnya. InsyaAllah.
Manusia modern harusnya lebih pinter mengatasi urusan kehidupannya, namun karena dalam urusan kehidupan ini begitu banyak unsur kepentingan – sehingga solusi yang dikeluarkannya tidak selalu in the best interest dari masyarakat keseluruhan. Urusan energi adalah salah satu contoh kasus saja.
Coba Anda bayangkan, untuk gas 3 kg, tabung kosongnya seberat 5 kg. Dan tabung gas ini harus berjalan kadang begitu jauh pulang dan pergi dengan ongkos yang relatif sama – karena pengangkut umumnya bukan hanya berdasarkan berat tetapi juga volume, volume tabung gas tidak berkurang ketika dalam kondisi kosong.
Seandainya kakek nenek leluhur kita dahulu bisa memprediksi masa depan, mungkin akan ada dialog semacam ini :
“Kasihan anak cucu kita kelak, di awal millennium ketiga – untuk memperoleh ‘kayu bakar’ atau api – mereka harus mengangkut wadah-wadah yang sangat berat, melebihi berat ‘kayu bakar’ itu sendiri, pulang dan pergi ketika wadah tersebut berisi maupun wadah tersebut kosong.” kata orang pinter pada jamannya.
Yang lain kemudian bertanya : “Mengapa mereka melakukan itu ? bukankah mereka harusnya lebih maju dari kita-kita saat ini ? bukankah mereka harusnya lebih pinter mengatasi masalahnya ? bukankah mereka akan memiliki apa yang disebut teknologi ?”
Orang pinter tersebut kemudian menjelaskan : “Tidak, mereka melakukan ini bukan karena kebodohannya. Mereka melakukannya karena pemimpin mereka memutuskan demikian, dan rakyatnya mengikutinya serta merta tanpa mempertanyakan kebijakannya tersebut. Orang pinternya diam, rakyat kebanyaknya tidak memiliki pilihan”.
Situasi itulah yang kita alami saat ini. Rakyat seperti kita-kita tidak punya pilihan untuk energi rumah tangga selain gas, bisa saja kita menggunakan kompor listrik tetapi jauh lebih mahal jatuhnya. Karena tiadanya pilihan ini, maka meskipun menjerit kemahalan – gas tetap kita beli.
Indonesian Corruption Watch (ICW) beberapa bulan lalu coba berteriak dengan mengungkap fakta bahwa menurut mereka Pertamina sampai Agustus tahun ini atau 8 bulan di tahun ini saja mengambil keuntungan secara tidak wajar sebanyak Rp 978.3 Milyar dari hasil jualan gas LPG 12 kg saja.
Akibat dari biaya transportasi dua arah yang mahal plus keuntungan pengelola yang berlebihan inilah rakyat membayar biaya energi yang sangat mahal. Rakyat tanpa sadar melakukannya bukan karena memang maunya demikian, tetapi karena tidak adanya pilihan lain hingga saat ini.
Saya melihat peluang dimana rakyat seharusnya dapat memperoleh energi yang jauh lebih bersih dan jauh lebih murah dengan menggunakan pellet biomassa yang bahannya melimpah di sekitar kita. Apa saja yang tumbuh di sekitar kita berpotensi menjadi energi biomassa.
Teman-teman yang sudah memproduksinya bisa menjual dengan harga tidak lebih dari Rp 2,000/kg sampai di tingkat konsumen akhir untuk pellet dengan tingkat kalori sekitar 4,500 kcal/kg. Bayangkan dengan harga gas yang di kisaran Rp 12,000 /kg untuk tingkat kalori sekitar 11,700 kcal/kg. Artinya biaya gas lebih dari Rp 1.00 /kcal , sedangkan energi dari pellet biomassa hanya di kisaran Rp 0.44/kcal atau kurang dari separuh harga energi gas LPG !
Untuk membakar pellet biomassa juga sangat sederhana, santri-santri kami di Madrasah Al-Filaha bahkan bisa membuatnya dari dua kaleng bekas. Bila sedikit dikembangkan dengan sentuhan teknologi dan kreativitas, kompor-kompor biomassa ini akan bisa menarik masyarakat jaman modern ini sekalipun. Kompor biomassa yang berbasis teknik gasifikasi inilah yang sangat berpotensi menjadi energi bersih dan murah itu.
Selain bersih dan murah, kompor biomassa juga tentu jauh lebih aman dari kompor gas karena tidak ada potensi ledakan. Kompor gas hanya aman bila dirawat dengan baik, terutama selang-selang dan koneksi-nya ke tabung. Tetapi kapan terakhir kalinya Anda memeriksa selang tabung gas Anda ?
Karena sangat jarangnya kita merawat kompor gas kita, maka yang lebih sering terjadi adalah apa yang disebut near loss incident – atau bahasa kitanya adalah kejadian yang ‘nyaris saja terjadi’ – saat itulah kita baru ingat merawatnya. Bagaimana kalau terlanjur bener-bener terjadi ledakan ? itulah yang kita sering melihatnya di TV saat sudah menjadi berita, saat itu semua perawatan menjadi terlambat.
Bisa jadi konsep energi pellet biomassa masih juga perlu banyak yang dikembangkan, tetapi berilah rakyat ini pilihan – agar kita bisa mandiri dalam bidang energi, karena dengan kemandirian energi inilah nantinya kita insyaAllah juga bisa mandiri pangan dan berbagai keperluan lainnya. InsyaAllah.
Sumber: GeraiDinar
0 komentar:
Posting Komentar