Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sepakat dengan ide Kementerian
Keuangan untuk mengelola zakat seperti halnya pajak. Ketua Baznas
Bambang Sudibyo menyatakan, mengelola zakat seperti pajak itu sesuai
dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam
aturan itu disebutkan bahwa zakat dikelola oleh negara layaknya
pengelolaan pajak. Hanya saja, lanjut dia, ada klausul yang mesti
diubah. "Zakat itu tidak lagi optional (pilihan) tapi wajib bagi semua
muslim," kata Bambang, di Yogyakarta, Kamis (24/8/2017) seperti dikutip
dari Kompas.com
Menurut
catatan Baznas, potensi penerimaan zakat di Indonesia pada 2015 bisa
mencapai Rp217 triliun pada 2015. Tapi realisasinya masih kecil. Pada
2015 zakat yang diserahkan ke Baznas atau pun badan penerima zakat yang
diakui pemerintah baru mencapai Rp3,7 triliun. "Atau hanya 1,3 persen
dari potensinya," kata Bambang, Kamis (30/6/2016).
Jika
pewajiban zakat ini terjadi, maka akan terjadi lonjakan besar terhadap
penerimaan zakat. "Zakat itu menjadi wajib dan siapapun yang membayar
zakat, kemudian bisa dimasukkan ke dalam utang pajak," kata Bambang.
Dalam pasal 22 Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat disebutkan, zakat yang dibayarkan bisa menjadi pengurang pajak.
Baznas
menginginkan zakat menjadi pengurang pajak langsung, dibandingkan
sebagai pengurang pendapatan kena pajak yang berdasarkan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2017 tentang
Badan yang Dibentuk oleh Pemerintah sebagai Penerima Zakat yang dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Dalam peraturan tersebut
dijelaskan, zakat yang sifatnya wajib dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto. Asal dibayarkan melalui badan penerima zakat atau sumbangan
keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah.
"Sekarang kan zakat pengurang pendapatan kena pajak atau tax expense. Ke depan inginnya tax credit atau
pengurang pajak langsung," ujar Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi
Syariah atau Center for Islamic Business and Economic Studies (CI-BEST),
Irfan Syauqi Beik kepada Republika, Kamis (24/8).
Menteri
Keuangan Sri Mulyani ingin zakat dikelola seperti halnya pajak. Potensi
zakat sebesar Rp217 triliun ini setara dengan pendapatan negara bukan
pajak (PNBP). Tapi sayang realisasinya masih kecil.
Dia menduga
kecilnya realisasi zakat salah satunya karena pemahaman yang berbeda
terhadap zakat. Banyak yang berpikir bahwa zakat hanya identik dengan
zakat fitrah dibayarkan selama Ramadan.
Atau pandangan zakat mal
hanya mengacu subyek zakat mal di era Rasulullah, seperti emas, perak,
hasil pertanian, ternak, dan tambang. "Padahal banyak aset, seperti
deposit bank, saham, sukuk, yang bisa menjadi subyek zakat mal," ujar
Sri seperti dikutip dari Tempo.co.
Jika dimaksimalkan, maka zakat bisa menaikkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan.
Menurut
data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah orang miskin mencapai 11,2
persen dari total populasi di Indonesia. Jumlah ini setara 28,6 juta
jiwa.
Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) kini tengah
mendorong kolaborasi dengan lembaga-lembaga mobilisasi dana masyarakat,
termasuk yang berbasis agama untuk bersinergi dengan program pemerintah.
Kepala
Pokja Pemantauan dan Evaluasi TNP2K Elan Satriawan mengatakan, mereka
akan menggunakan data yang sama untuk mengentaskan kemiskinan.
"Pemerintah punya basis data terpadu yang isinya 40 persen keluarga
miskin dan rentan seluruh Indonesia," kata Elan di Yogyakarta, Kamis
(24/8) seperti dikutip dari KONTAN.
Lalu,
mereka bersinergi memanfaatkan dana lembaga-lembaga mobilisasi dana
masyarakat. "Di NTT, dengan Lazismu, mereka menolong masyarakat kecil
punya akses penerangan listrik. Jadi kami identifikasi dari data itu,"
kata dia. []
Sumber: Beritagar
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar