JAKARTA -- Gabungan pengusaha makanan dan minuman Indonesia (Gapmmi)
meminta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk
mengajukan review alias peninjauan ulang atas Undang-Undang (UU) Nomor
33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Ketua Umum Gappmi Adhi
S Lukman menilai, mengkaji ulang UU tersebut merupakan tantangan utama
BPJPH yang baru saja diresmikan pada Senin (11/10) oleh Menteri Agama.
Adhi
menjelaskan, Undang-Undang JPH saat ini belum resmi berlaku karena
masih menunggu diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan
dari produk hukum tersebut. Begitu PP diterbitkan, maka semua barang dan
jasa harus bersertifikat halal.
Yang jadi persoalan, menurut
Adhi, bagi barang dan jasa yang belum disertifikasi, maka sesuai
ketentuan dalam UU, harus dinyatakan sebagai non-halal, meski bila
sebenarnya semua bahan baku dan prosesnya halal.
Adhi menilai hal
ini tak adil, terutama bagi pengusaha mikro, kecil dan menengah. Sebab,
kata dia, mengurus sertikasi halal membutuhkan biaya dan waktu yang
sering kali sulit dipenuhi oleh industri kecil.
"Sementara, yang namanya Undang-Undang kan harus diberlakukan semua, tidak bisa ada diskriminasi," kata Adhi, saat dihubungi Republika, Senin (10/11).
Selain
itu, ia juga pesimistis jika semua barang dan jasa dapat bersertifikat
halal dalam waktu dekat mengingat kapasitas lembaga sertifikasi yang
terbatas. Saat ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) baru mampu menyertifikasi rata-rata
6.000 produk setiap tahun. Sementara, jumlah industri pangan olahan
baik skala kecil, menengah dan besar ada lebih dari 2,1 juta perusahaan.
Karena
itu, Adhi mengusulkan agar pemerintah segera membentuk lembaga
sertifikasi halal di daerah-daerah untuk mempercepat target wajib halal.
"Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
mensertifikasi halal kalau lembaganya tidak siap."[]
Sumber:Republika
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar