JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mejelaskan, pengusaha Indonesia ingin pemerintah mengkaji kembali dengan kewajiban sertifikasi halal yang tertuang dalam Undang-undang Jaminan Produk Halal. Sebab, ada beberapa poin yang akan memberatkan pelaku usaha dan bisa menjadi hambatan investasi luar negeri masuk ke Indonesia.
Hariyadi menjelaskan, poin-poin berikut bisa dipertimbangkan kembali sebagai kompensasi pemerintah untuk pengusaha. Di antaranya terkait biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha saat membuat maupun memperbarui sertifikasi tiap empat tahun sekali. "Ini akan berdampak ke seluruh industri, jasa maupun manufaktur," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (13/9).
Untuk sertifikasi, rata-rata biaya yang dibutuhkan oleh pengusaha adalah Rp 2,5 juta per produk. Nominal tersebut diberlakukan untuk produk yang tidak berbahan baku impor. Hariyadi menyarankan agar biaya sertifikasi yang dibebankan kepada pelaku usaha dapat berlaku seumur hidup.
Baca juga, UU Halal Harus Akomodasi Pengusaha yang Belum Bersertifikat
Tidak hanya saat sertifikasi, pengusaha juga harus mengeluarkan biaya lebih untuk pra-sertifikasi. Misalnya, biaya penelitian untuk pelaku usaha di bidang farmasi saat membuat dan memastikan produknya halal. Dengan penambahan biaya tersebut, Hariyadi cemas akan berdampak terhadap daya saing dunia usaha di pasar internasional.
Hariyadi menambahkan, kompensasi yang diinginkan pengusaha sebenarnya adalah tidak menjadikan sertifikasi halal sebagai sebuah mandatory atau kewajiban. Ia cemas, kewajiban ini dapat berdampak ke psikologi masyarakat. Misalnya, produsen yang tidak mengikuti sertifikasi akan ‘terpojokkan’ oleh kelompok tertentu.
Untuk investasi pun, Hariyadi menjelaskan, kewajiban sertifikasi halal berpotensi menurunkan minat negara lain terhadap Indonesia. Mereka akan melihat peraturan ini sebagai hambatan dalam menanamkan modal maupun melakukan ekspansi. "Sebaiknya, sertifikasi halal ini sifatnya voluntary saja atau sukarela, bukan sebuah kewajiban," ucapnya.
Hariyadi meyakini, apabila sifat mandatory ini terus dipaksakan pemerintah, akan timbul berbagai dampak negatif. Selain dari segi biaya, juga menimbulkan konflik antar kelompok. Penilaian Indonesia di mata internasional pun bisa menjadi negatif karena dianggap membuat hambatan bagi negara lain untuk membawa barang dagang mereka ke Indonesia.
Sumber: REPUBLIKA.CO.ID
0 komentar:
Posting Komentar