JAKARTA -- Pemerintah dan masyarakat perlu mewaspadai adanya kenaikan harga pangan selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Siklus tahunan ini, kembali berulang di 2021 dan terdapat lima komoditas pangan yang harganya konsisten tinggi sejak akhir 2020.
Kenaikan harga pangan tentu akan memberatkan masyarakat, terutama mereka yang mata pencahariannya terdampak pandemi, karena harus membayar lebih mahal untuk pemenuhan kebutuhan pangannya.
Berdasarkan data dan pantauan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), lima komoditas yang harganya tinggi secara terus menerus sejak November 2020 di antaranya cabai rawit, cabai merah, bawang putih, bawang merah, dan daging sapi. Walaupun terdapat sedikit penurunan antara periode November 2020 hingga bulan ini, harga lima komoditas ini terpantau tetap tinggi.
“Pergerakan harga bisa menjadi parameter dalam melihat ketersediaan komoditas pangan. Pemerintah tentu perlu mengambil langkah strategis untuk menstabilkan harga komoditas pangan yang harganya fluktuatif. Tidak perlu menunggu harga tinggi,” kata peneliti CIPS, Indra Setiawan, dalam pernyataan tertulisnya diterima Republika.co.id, Rabu (14/4).
Ia menambahkan, harga cabai rawit terus mengalami kenaikan. Kenaikan tertinggi terjadi di pertengahan hingga akhir Maret 2021. Akibatnya, harga cabai rawit menjelang Ramadhan cenderung lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya. Selain karena curah hujan tinggi, kenaikan harga ini disinyalir akibat hasil panen yang terserang virus. Saat ini, rata-rata harga cabai rawit Rp 70.400 per kilogram.
Harga cabai merah terlihat fluktuatif dari waktu ke waktu. Titik tertinggi harga cabai merah pada Desember yang menyentuh Rp 59.500. Setelah itu, ada penurunan dan harga kembali naik menjelang Ramadhan. Tingginya harga dibandingkan November ini masih akibat curah hujan tinggi di awal tahun yang mengganggu panen cabai merah di Indonesia. Saat ini harga cabai merah Rp 52.350.
Sebagaimana yang terjadi di awal pandemi tahun lalu, harga bawang putih naik cukup signifikan menjelang Ramadhan. Harga bawang putih saat ini pada kisaran Rp 30 ribu, sebelumnya berada di level Rp 27 ribu- Rp 29 ribu. Bawang putih merupakan komoditas yang sebagian besar didapatkan dari impor. Meskipun belum jelas alasan kenaikan harga bawang putih, kompleksnya proses impor bawang putih dapat menjadi salah satu penyebab kenaikan harga tersebut
”Proses importasi membutuhkan SPI dan juga RIPH yang pengurusannya membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sementara kenaikan harga perlu segera direspon supaya tidak terjadi kelangkaan,” tambahnya.
Harga daging sapi terlihat mengalami kenaikan yang signifikan di hari-hari menjelang Ramadhan. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi semenjak bulan November 2020.
Harga daging sapi yang sebelumnya berada di kisaran Rp 118 ribu hingga Rp 119 ribu kini naik tajam ke Rp 122 ribu. Kenaikan terjadi, salah satunya, akibat permintaan terhadap daging sapi yang naik menjelang Ramadan. Hal yang tidak berbeda jauh terjadi pada protein hewani lainnya. Komoditas daging ayam terlihat mengalami fluktuasi harga dari bulan November 2020. Namun demikian, menjelang Ramadan harga daging ayam naik drastis dan menuju level tertinggi di lima bulan terakhir.
"Salah satu penyebab kenaikan harga ini adalah naiknya harga pakan, seperti halnya yang terjadi pada telur ayam. Kenaikan harga pakan ini menyebabkan naiknya biaya produksi. CIPS menyebutkan bahwa pakan menyumbang hampir 57% total biaya produksi ayam broiler dan 72% pada produksi ayam petelur,” jelas Indra.
Penelitian CIPS merekomendasikan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengimplementasikan sistem perizinan impor otomatis atau automatic import licensing import untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Selama ini keputusan-keputusan strategis dalam kebijakan perdagangan pangan selalu diputuskan lewat rapat koordinasi terbatas antar kementerian dan juga berbagai persyaratan yang menghabiskan waktu. Sistem perizinan impor otomatis dapat mempersingkat proses tadi menciptakan ekosistem perdagangan yang lebih sehat dan kompetitif.
Sistem perizinan impor otomatis memberikan kesempatan kepada semua importir terdaftar untuk mengimpor. Penggunaan sistem ini mengurangi berbagai penundaan akibat proses birokrasi dan menghilangkan peluang korupsi.
Automatic import licensing system tidak menghapus persyaratan SPS yang diperlukan yang menjamin kualitas dan keamanan pangan atau NTM teknis yang menjamin standar.
Namun, yang akan dilakukan adalah memfasilitasi proses impor dengan mengizinkan importir untuk mengimpor kapan saja tanpa harus bergantung pada keputusan pemerintah.
Walaupun demikian, penggunaan sistem ini bukan berarti produk impor akan segera membanjiri pasar domestik dan sepenuhnya menggantikan produksi pertanian dalam negeri. Sistem perizinan impor otomatis diharapkan dapat membuat produsen yang kurang efisien untuk meningkatkan produktivitasnya. []
Sumber : Republika
0 komentar:
Posting Komentar