Padahal secara umum, situasi ekonomi di Indonesia masih menghadapi ketidakpastian yang tinggi di 2022. Mulai dari efek normalisasi kebijakan moneter AS atau tapering off, gejolak geopolitik di timur tengah, berlanjutnya perang dagang hingga fluktuasi harga komoditas terutama minyak mentah dan batubara.
"Pemerintah perlu antisipasi adanya imported inflation yang membuat daya beli kelas menengah bawah belum akan pulih karena naiknya harga barang tidak dibarengi dengan pemerataan pendapatan," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Kamis (2/9).
Alasan lainnya, dampak pandemi masih terjadi tahun depan. Oleh karena itu, jangan sampai asumsi pertumbuhan yang tinggi membuat justifikasi pemangkasan anggaran penanganan pandemi dan perlindungan sosial.
"Kebijakan anggaran tidak boleh sampai mengarah pada austerity (pengetatan anggaran). Jadi asumsi pertumbuhan yang realistis dikisaran 3,0-4,0 persen yoy," kata Bhima.Ia juga menyoroti utang pemerintah yang semakin membengkak, dan lebih menjadi beban saat ini bagi perekonomian.
Kementerian Keuangan RI mencatat, posisi utang pemerintah pada akhir Juli 2021 berada di angka Rp 6.570,17 triliun, dengan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 40,51 persen. Jumlah tersebut naik sekitar Rp 15,61 triliun dibandingkan dengan posisi utang pada akhir bulan Juni 2021 yang sebesar Rp 6.554,56 triliun.
"Tahun 2022 tantangan terhadap kenaikan beban utang makin tinggi bukan saja karena defisit APBN, tapi juga tantangan tapering off bank sentral negara maju serta risiko kenaikan suku bunga SBN untuk menahan laju arus modal keluar (capital outflow)," kata Bhima.
Menurut Bhima, kemampuan membayar utang pemerintah yang meningkat jadi hambatan terhadap kemampuan menstimulus sektor yang produktif. Misalnya, dari postur belanja sepanjang 2014-2021, belanja pemerintah pusat yang naik tinggi adalah belanja konsumtif, yakni belanja pembayaran bunga utang naik 180 persen, disusul belanja barang naik 105 persen dan belanja pegawai 73 persen. Sementara belanja yang berkaitan dengan penggerak ekonomi seperti belanja modal hanya tumbuh 68 persen.
Kemudian ia menilai perlunya evaluasi penggunaan dana APBN untuk pemerintah daerah, dimana dalam kondisi krisis masih ada Rp 172,5 triliun dana pemda yang disimpan di perbankan per Mei 2021.
Dana Alokasi Umum dari pemerintah pusat juga porsinya tercatat masih besar untuk membiayai birokrasi, seperti belanja pegawai yang rata-rata 32,4 persen dari total belanja pemda. Kemudian perlunya evaluasi serapan belanja pemerintah terkait anggaran kesehatan dan perlindungan sosial dalam PEN.
"Kalau ada pembenahan serius sebenarnya beban utang bisa ditekan. Ini masalah politik anggaran arahnya kesana atau tidak?" ujar Bhima.
Pemerintah juga perlu mewaspadai kemampuan membayar utang luar negeri berkaitan dengan penerimaan valas. Pinjaman dalam bentuk dolar harus dibayar dalam bentuk dolar AS.
Menurutnya kekuatan ekspor kita belum berkualitas dan meningkat secara konsisten selama utang luar negerinya tidak memacu kinerja ekspor secara maksimal. Hal ini bisa terlihat dari debt service ratio atas ekspor di 27,9 persen tahun 2020 yang artinya kinerja utang belum dibarengi kenaikan sektor produktif ekspor.
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya mengestimasi pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,0 persen-5,5 persen, dengan mempertimbangkan pandemi Covid-19 yang masih memengaruhi perekonomian Indonesia. []
Sumber: Republika
0 komentar:
Posting Komentar