Spanduk putih berisi tulisan cat semprot merah terpampang di gerbang pintu masuk Desa Wisata Nglanggeran, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pengumumannya cukup sederhana, “Tutup Sementara”. Siang itu, tepatnya Senin 23 Maret 2020, desa yang menjadi tujuan wisatawan lokal dan asing ini memang terpaksa harus ditutup karena ancaman Pandemi Covid-19.
Pengelola Desa Wisata Nglanggeran Sugeng Handoko Purba menjelaskan, pandemi membuat aktivitas perekonomian desa wisata sempat terhenti. Padahal, desa tersebut sedang ramai-ramainya. Selama 2019, tercatat lebih dari 103 ribu wisatawan mengunjungi desa yang terletak di Kabupaten Gunung Kidul itu. Dampak kunjungan mereka menghidupkan ekonomi warga. Buktinya, total omzet pengelolaan desa wisata meningkat pesat hingga Rp 3,2 Miliar.
Ditutupnya desa wisata mematikan ekonomi warga setempat. Menurut Sugeng, hampir 70 persen dari 837 Kepala Keluarga (KK) yang bergantung dari desa dengan destinasi wisata Gunung Api Purba itu. Tak ada tamu artinya tidak ada pengunjung yang berbelanja. Warga pun terkenang bayang-bayang kemiskinan yang sempat menghinggapi mereka sebelum adanya keberadaan desa wisata. Maklum saja, desa yang memiliki lima dusun ini sempat memegang titel desa tertinggal. Desa tersebut begitu lekat dengan kekeringan dan kemiskinan.
Meski tutup, Sugeng tak hilang akal. Dia berpikir keras agar ribuan warga yang hidup dari desa wisata itu masih bisa makan. “Kami bersyukur ketahanan ekonomi desa itu lebih kuat karena ada sumber-sumber ekonomi tambahan,”ujar dia saat berbincang dengan Republika.co.id, Senin (24/1).
Salah satu harta tersembunyi di Desa Nglanggeran adalah kakao. Sugeng menjelaskan, pohon yang bernama latin Theobroma Cacao itu sudah dimiliki setidaknya 80 persen warga sejak lama. Hanya saja, warga belum mampu mengolah biji kakao untuk dijadikan bubuk. Mereka baru bisa menjual bahan baku ke para tengkulak yang dihargai murah.
Bersama segenap stakeholder dari pemerintahan dan lembaga, Sugeng memberanikan diri untuk mengolah biji kakao menjadi bubuk cokelat. Untuk pengolahan ini, dia pun membentuk tim yang berjumlah 23 orang, “Cokelat ini asli produk desa dari bahan baku hingga petaninya ya masyarakat setempat,”jelas dia.
Ikhtiar Sugeng dan kawan-kawan menuai hasil. Tak hanya mampu mengolah biji kakao, mereka bahkan bisa memproduksi lebih dari 15 varian produk dari bubuk cokelat tersebut. “Ada minuman cokelat, dodol kakao, bakpia, pisang salur cokelat dan sebagainya,”tambah Sugeng.
Sebelum pandemi, cokelat yang diberi brand Griya Cokelat Nglanggeran ini begitu populer sebagai oleh-oleh para wisatawan. Setiap bulan, produk ini bisa mencapai omzet penjualan hingga Rp 60 juta. Ditutupnya desa wisata membuat cokelat hasil olahan warga turun drastis hingga 70 persen. Perlahan, Sugeng dan kawan-kawan mulai mencari cara agar cokelatnya bisa sampai ke konsumen tanpa mereka datang ke desa. “Untuk zaman new normal ini, cokelat desa kami yang harus mendatangi mereka,”jelas Sugeng.
Sugeng memilih cara marketing yang cukup unik. Dengan menggandeng platform perjalanan wisata, dia membuat program wisata virtual selama dua jam ke Desa Nglanggeran. Lewat wisata virtual tersebut, para wisatawan juga bisa langsung merasakan sensasi nikmatnya Griya Cokelat Nglanggeran yang dikirim sebelumnya. Tak hanya itu, Sugeng memaksimalkan pemasaran lewat berbagai platform media sosial dan marketplace yang bisa diakses lewat gawai.
Pandemi yang mulai mereda memang membuat wisata desa kembali dibuka. Terlebih, baru-baru ini Nglanggeran memperoleh apresiasi dari UNWTO (Organisasi Pariwisata Dunia PBB) sebagai Best Tourism Village 2021. Apresiasi ini tak mengendurkan Sugeng dan kawan-kawan menjual produk desa secara online. Brand tersebut justru menguatkan narasi untuk mengenalkan masyarakat dunia terhadap produk-produk desa di dunia digital. Beragam jurus tersebut membuat manisnya cokelat desa bisa sampai ke berbagai tempat di dalam dan luar negeri. Sugeng pun mengaku beruntung karena ada jasa kurir yang selalu siap mengantar produknya tepat waktu. Terlebih, adanya platform di My JNE yang memungkinkan Sugeng melacak sudah sampai dimana barang kirimannya berada.
Industri jasa kurir dinilai amat penting dalam membentuk ekosistem usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) berbasis digital. Pada masa new normal ini, Sugeng menjelaskan, olahan cokelat yang menjadi produk asli desanya memang mengandalkan penjualan di dunia online. Lewat jasa kurir, produknya bisa didistribusikan dengan baik ke seluruh Indonesia. Menurut dia, petugas jasa kurir bahkan kerap membantu dengan layanan penjemputan barang. “Sebelum ada jasa kurir, kalau ada pesanan di Jogja saja tim kami yang harus mengantar sendiri dari Wonosari,”jelas Sugeng.
Kehadiran jasa kurir pun membuat Sugeng dan kawan-kawan bisa lebih fokus untuk melakukan produksi dan inovasi produk secara maksimal tanpa terkendala masalah pengiriman. Dengan harga yang kompetitif disertai jaminan produk bisa sampai tepat waktu, cokelat Nglanggeran laris manis baik di media sosial maupun di toko online. Berkat berjualan di dunia daring, Sugeng mengaku, omzet penjualan cokelat pun merangkak naik hingga mendekati hasil sebelum pandemi. Sugeng kian optimistis jika ekonomi desanya mampu bangkit berkat kolaborasi dengan jasa kurir. Mimpi buruk kembali menjadi desa miskin akibat pandemi pun bisa terhindarkan.
Dia mengaku kerap memilih JNE sebagai jasa kurir yang bisa diandalkan. “Paling sering JNE karena mereka mau datang untuk ambil produk atau barangnya,”jelas dia. Tak hanya itu, jasa kurir juga membuat tim Marketing Griya Cokelat Nglanggeran bisa mengadopsi cara pengemasan produk yang baik. Terlebih, ujar Sugeng, cokelat merupakan kudapan yang ringkih jika dikirim ke tempat yang jauh dalam waktu agak lama. “Bagaimana mengemas biar aman, bagaimana untuk bisa packaging biar tidak remuk. Kita belajar juga dari teman-teman jasa kurir,”tambah dia.
Geliat UMKM di daerah sekitar Gunung Kidul turut dirasakan agen JNE Beji, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, Juparyanto. Menurut dia, persentase pengiriman barang dari sektor UMKM ke berbagai daerah mencapai 80 persen. Dia pun menjelaskan, selama musim pandemi 2020 ke 2021, pengiriman barang dari para pengusaha lokal meningkat signifikan. Mereka mengirim produk melalui layanan reguler dengan biaya relatif murah. Lewat layanan tersebut, ujar Juparyanto, barang bisa sampai ke tujuan dalam tempo yang tidak terlalu lama.
Juparyanto menjelaskan, JNE Beji mengadakan layanan penjemputan barang untuk mengakomodasi warga pedesaan yang mengalami kesulitan dalam hal transportasi. Dia menjelaskan, layanan tersebut diberikan bagi warga yang mengirim dalam jumlah besar. “Kira-kira banyaknya cukup untuk menutupi biaya operasional karena itu inisiatif dari cabang,”jelas dia.
Kolaborasi dan inovasi
Selama pandemi, transaksi digital memang lebih diminati untuk menghindari penularan virus Covid-19. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat, jumlah konsumen digital meningkat sebesar 21 juta orang sejak awal wabah pada 2020 lalu. Sebanyak 72 persen diantaranya berasal dari pedesaan.
Irjen Kemkominfo Doddy Setiadi menjelaskan, kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan ekonomi digital melalui pemanfaatan e-commerce. Menurut Doddy, penjual online di pulau terluar dapat berjualan secara daring melalui toko online sendiri atau pasar online. Teknologi digital mengatasi tantangan terkait jarak yang sangat jauh, kepadatan penduduk yang rendah, dan daya beli yang terbatas di daerah perdesaan. Dia menjelaskan, tren pemanfaatan e-commerce memacu kebutuhan layanan logistik yang andal.
Doddy pun menegaskan, kemitraan antara e-commerce dan layanan logistik, terutama di daerah perdesaan menjadi salah satu solusi untuk membuat pasar e-commerce Indonesia terus berkembang. Kemitraan tersebut pun membuka peluang signifikan bagi masyarakat. “Kemitraan tersebut akan melibatkan kolaborasi dalam peningkatan infrastruktur logistik, penguatan layanan point-to-point, dan peningkatan pemenuhan last-mile delivery. Tidak hanya menjangkau seluruh wilayah negara namun bisa menjadi solusi bagi penjual online di daerah perdesaan,” jelas dia.
VP of Marketing JNE Eri Palgunadi menjelaskan, ada ribuan UMKM yang menjalin kerja sama dengan JNE. Banyak diantaranya yang menjadi member JNE Loyalty Card (JLC). Mereka bergerak di berbagai bidang seperti fashion, kerajinan, otomotif, dan berbagai bidang lainnya. Menurut Eri, pengguna layanan JNE dari UMKM tak cuma produsen, tetapi juga pelaku reseller. Khusus untuk UMKM yang bergerak di bidang kuliner, Eri menjelaskan, banyak diantara mereka yang menggunakan layanan Pesanan Oleh-oleh Nusantara (PESONA) JNE. Jumlahnya sudah mencapai 40 ribu pengusaha.
Eri menyadari jika terjadi penurunan seluruh sektor ekonomi saat awal pandemi. Bank Indonesia (BI) merilis jika terdapat 87,5 persen sektor UMKM yang terdampak wabah. Banyak diantaranya yang kehilangan pelanggan sehingga omzet penjualannya turun. Tidak sedikit yang harus gulung tikar. Meski demikian, para pelaku UMKM perlahan mulai bangkit seiring wabah yang semakin melandai. Mereka pun memaksimalkan penjualan secara online.
Kementerian Koperasi dan UKM merilis ada kenaikan signifikan jumlah UMKM yang memaksimalkan pasar online. Dari 64,2 juta UMKM, tercatat ada 16,9 juta usaha yang sudah memasarkan produknya lewat teknologi digital. Pemerintah pun menargetkan sebanyak 30 juta UMKM akan terhubung ke platform digital pada 2024. Karena itu, survey Google dan Temasek mencatat, ekonomi digital Indonesia pada 2025 diproyeksikan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dengan nilai transaksi mencapai Rp 1.826 Triliun.
Untuk mewujudkan prediksi ini, butuh peran jasa kurir yang andal. “Meningkatnya kebutuhan pengiriman masyarakat karena pandemi ini juga merupakan tantangan, sehingga JNE terus menjalankan pengembangan dan pembangunan sesuai rencana, seperti pembangunan mega hub yang terus berjalan serta jaringan mau pun infrastruktur lainnya agar dapat terus menangani kapasitas pengiriman yang bertambah,”ujar Eri.
Menurut Eri, JNE tetap berupaya melayani masyarakat lewat lebih dari 8.000 titik yang tersebar dari kecamatan hingga kelurahan. Dengan lebih dari 11.000 armada dan 50 ribu sumber daya manusia, Eri berharap JNE bisa terus melayani masyarakat khususnya para pelaku UMKM, tidak terkecuali para pengusaha kecil dari desa. Komitmen tersebut pun membuat pertumbuhan pengiriman JNE terus naik sebesar 30 persen-40 persen per tahun.
Shifting penjualan dari ofline shop ke dunia digital juga tampak dari karakter konsumen JNE. Menurut Eri, JNE memiliki konsumen ritel hingga 80 persen dari total pelanggan. Sebanyak 80 persen dari konsumen tersebut memilih mengirim melalui e-commerce seperti marketplace, media sosial, webite dan sebagainya. Eri menegaskan, JNE terus mengembangkan sektor teknologi dan informasi sehingga pelanggan dapat mengetahui keberadaan paket dan estimasi waktu serta lokasi titik layanan dengan mobile apps MyJNE atau melalui website JNE.Selain itu, JNE sedang membangun Mega HUB, dengan mesin sortir besar berbasis teknologi canggih. JNE juga mengembangkan fasilitas e-fullfilment system pergudangan yang terintegrasi.
Perusahaan jasa kurir yang didirikan Johari Zein ini memang baru saja melakukan kolaborasi dengan Smesco dan YukBisniss. Kerjsama strategis antar tiga pihak tersebut menghadirkan Smesco Fulfillment Center yang akan berperan sebagai gudang logistik UKM dengan tarif terjangkau. Lewat Smesco Fulfillment Center, ongkos kirim bisa ditekan hingga menjadi nilai flat Rp 9.000 se-Jawa dan Sumatra. Disini, JNE memainkan peran sebagai distributor pengiriman barang UKM sementara YukBisnis menjadi operator Smesco Fullfillment Center.
Fasilitas warehousing yang berlokasi di Lantai 11, Gedung SME Tower, Jakarta ini memiliki luas 1.250 m2. Pada ruangan ini telah tersedia 400 unit lemari dan 2000 level rak yang mampu menyimpan 136.800 item barangmilik UKM serta didukung system warehouse manajemen, ruangan berpendingin, operator bersertifikasi, dan call centre yang terintegrasi. Beragam fasilitas ini diharapkan dapat menciptakan peluang dan memberikan kemudahan kepada para UKM dalam melakukan proses jual beli secara online. Para pelaku usaha pun dapat fokus kepada proses produksi dan pengembangan atau inovasi produk, serta penjualannya. Hal itu karena pengelolaan warehousing ditangani oleh Smesco Fulfillment Center yang dilakukan secara profesional dan terintegrasi langsung dengan layanan pengiriman, sehingga update data jumlah stok barang, serta status pengiriman tiap paket tersedia secara berkala.
Presiden Direktur JNE M. Feriadi Soeprapto mengatakan, para pelaku industri kreatif kerap disibukan dengan proses warehousing, pengaturan stock barang, packaging, sampai dengan pengiriman paket ke konsumen. Dia menjelaskan, hal itu berpotensi menurunkan konsentrasi terhadap upaya peningkatan penjualan, pengembangan atau inovasi produk dari segi kuantitas mau pun kualitas, dan yang lainnya. “Agar dapat mengatasi tiap tantangan dan meraih tiap peluang di era digital, maka sinergi dan kolaborasi bersama dengan mitra strategis harus terus dilakukan,”jelas dia.
Sumber : Republika
0 komentar:
Posting Komentar