GAZA -- Sebanyak lima pabrik gandum di Gaza mulai kekurangan pasokan akibat invasi Rusia ke Ukraina yang telah berlangsung sejak 24 Februari. Invasi tersebut telah menutup akses pengiriman gandum di Laut Hitam.
Harga gandum telah melonjak sekitar 20 persen. Hal ini membuat lima pabrik gandum di Gaza harus bersusah payah bersaing dengan Mesir dan Tepi Barat, yang memiliki biaya produksi lebih rendah. Direktur Umum Al-Salam yang merupakan pabrik gandum terbesar di Gaza, Abdel-Dayem Abu Awwad, mengatakan, krisis telah memaksa mereka untuk memberhentikan sebagian besar dari 54 pekerja dan mempersingkat jam kerja.
"Kapasitas kami mencapai 400 ton gandum per hari atau 300 ton tepung. Saat ini, telah turun menjadi (hanya) 10 hingga 20 persen dari itu," kata Abu Awwad kepada Reuters.
Pabrik gandum Al-Salam terletak Gaza selatan. Sebagian besar mesin di pabrik itu telah dimatikan. Pabrik Al-Salam menjual satu karung tepung seberat 50 kilogram seharga 120 shekel atau 35,91 dolar AS.
Sementara tepung yang diimpor dari Mesir dan wilayah pendudukan Tepi Barat harganya sekitar 10 shekel lebih murah. Sebelum konflik Rusia-Ukraina, satu karung tepung dengan berat 50 kilogram dijual seharga 97 shekel.
"Alasan utamanya adalah perang Rusia-Ukraina. Kami memiliki toko selama dua hingga tiga bulan, tetapi ketika mereka habis, kami wajib membeli gandum dengan harga baru, dan itu sangat tinggi," kata Abu Awwad.
Rusia dan Ukraina menyumbang hampir sepertiga dari pasokan gandum global. Gangguan pengiriman gandum yang disebabkan oleh perang telah mendorong harga naik di seluruh dunia.
Krisis itu bertepatan dengan dimulainya panen gandum di Gaza. Tetapi panen tahunan hampir tidak dapat memenuhi permintaan di daerah yang memiliki populasi sekitar 2,3 juta orang. Warga Gaza mengkonsumsi hingga 500 ton tepung per hari.
Di desa Mughraqa di Jalur Gaza tengah, seorang ibu dari enam anak, Amani Ayyad, mengatakan, kenaikan harga tepung telah membuatnya kesulitan. Menurutnya kenaikan harga bahan pokok dapat menimbulkan ancaman kelaparan di tengah blokade Israel.
"Harga minyak goreng, tepung dan gula semuanya naik. Kami mentolerir blokade dan pembagian tapi apa yang bisa dilakukan orang ketika mereka tidak punya makanan? Ini kematian yang lambat," kata Ayyad kepada Reuters.
Dua pertiga warga Gaza bergantung pada bantuan dari Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB atau UNRWA. Mereka memberikan distribusi makanan triwulanan kepada keluarga pengungsi.
Sejauh ini, UNRWA telah mempertahankan pengiriman bantuan. Organisasi tersebut telah meminta dana tambahan dari negara-negara donor untuk menutupi harga pangan yang melonjak.
“Jika (bantuan) UNRWA dihentikan atau ditunda, akan terjadi krisis karena pengungsi bergantung padanya,” kata seorang ayah empat anak, Samir Al-Adham, yang berbicara kepada Reuters di pusat distribusi makanan di kamp pengungsi Beach. []
Sumber: Republika
0 komentar:
Posting Komentar