BALI -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat kerja sama dengan The Australian Prudential Regulation Authority (APRA) dan Japan Financial Services Agency (JFSA) untuk semakin meningkatkan kapasitas pengaturan dan pengawasan serta pengembangan industri jasa keuangan.
Penandatanganan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) OJK dengan APRA serta Exchange of Letter (EoL) dengan JFSA dilakukan secara hybrid di Bali, Jumat.
Penandatanganan MoU dengan APRA tentang Mutual Co-operation in Banking and Insurance Supervision ini merupakan kerja sama yang meliputi peningkatan kapasitas, pertukaran informasi, cross-border establishment, pengawasan berkelanjutan, dan manajemen krisis.
Sedangkan, kelanjutan kerja sama dengan JFSA melalui penandatangan EoL tentang Innovation in the Financial Sector dilakukan sebagai upaya optimalisasi inovasi digital di sektor jasa keuangan yang mencakup mekanisme rujukan antara financial innovator dan otoritas terkait, potensi proyek inovasi bersama, kerja sama antara industri FinTech, dan pertukaran informasi.
"Sektor keuangan saat ini sudah sangat berkembang sehingga permintaan konsumen akan produk dan jasa meningkat lebih cepat. Oleh karena itu, adopsi teknologi inovasi oleh lembaga keuangan dan kerja sama lintas negara perlu dilakukan," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam penandatangan MoU dan EoL dimaksud.
High-Level Roundtable Discussion
Selain penandatangan MoU dan EoL, OJK juga menggelar diskusi secara virtual membahas isu terkini sektor keuangan bertemakan "Embracing the Ineviable: New Financial Sector's Landscape" dengan beberapa pimpinan lembaga internasional, yaitu Chairman of APRA Wayne Byres, Director General of Strategy Development and Management Bureau JFSA Matsuo Motonobu, Deputy Governor of Korean Financial Supervisory Service Lee Jin-Seok, dan Chief Risk Officer of China Banking and Insurance Regulatory Commission Liu Fushou.
Dalam diskusi itu mengemuka pembahasan bahwa pandemi Covid-19 telah mengubah perilaku konsumen ke arah saluran yang lebih efisien, berkelanjutan, dan terdigitalisasi di semua aspek kehidupan. Perubahan tersebut memberikan peluang sekaligus memunculkan berbagai jenis risiko bagi sektor keuangan.
Selain itu, tantangan global yang signifikan seperti perubahan iklim, ketegangan geopolitik, perubahan tren demografi, dan peraturan yang berkembang juga akan berdampak signifikan pada sektor keuangan dalam jangka menengah hinggapanjang.
Tren dan perkembangan makro tersebut menjadi penting bagi otoritas keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan."Saya yakin inilah saat yang tepat bagi kita untuk saling belajar dari pengalaman masing-masing dalam menyikapi perubahan dan dinamika tersebut. Oleh karena itu, diskusi hari ini berfungsi sebagai platform yang bagus bagi kita untuk bertukar informasi dan untuk lebih memperkuat kolaborasi kita dalam mencapai pemulihan ekonomi global," kata Wimboh dalam pembukaan diskusi itu.
Lebih lanjut, Wimboh menjelaskan bahwa stabilitas sektor jasa keuangan Indonesia terjaga dengan baik dengan indikator yang bertumbuh kuat sehingga berkontribusi pada proses pemulihan ekonomi Indonesia. Hal ini terlihat dari fungsi intermediasi perbankan pada April 2022 yang mencatatkan tren positif dengan pertumbuhan kredit 9,10 persen yoy dengan semua kategori debitur mencatatkan peningkatan, terutama UMKM dan ritel.
Kinerja perusahaan multifinance juga terus membaik, ditunjukkan dengan pembiayaan yang tumbuh (4,51 persen yoy) dan NPF yang menurun (2,7 persen), didukung oleh gearing ratio yang stabil (2,01 kali) pada April 2022. Inflasi global dan normalisasi kebijakan moneter pun telah memberikan tekanan pada pasar modal domestik. Portofolio obligasi pemerintah non-residen mencatat net sell YTD sebesar Rp103,54 triliun, sementara pasar Ekuitas mencatat net buy YTD sebesar Rp62,91 triliun per 20 Mei 2022.
Isu penting lainnya yang dibahas dalam diskusi ini adalah terkait perubahan iklim yang bisa mempengaruhi stabilitas keuangan sehingga lembaga keuangan didorong untuk mengubah bisnis mereka menjadi keberlanjutan karena semakin banyak konsumen yang menyadari dampak dari investasi mereka.
"Mengantisipasi isu dimaksud, OJK telah meluncurkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025), yang berfokus pada pengembangan ekosistem yang komprehensif. Selanjutnya, di awal tahun ini, OJK bersama kementerian terkait meluncurkan Indonesia Green Taxonomy Edition 1.0." jelas Wimboh.
OJK akan terus menjalin kerja sama dengan Pemerintah dan lembaga berwenang dalam percepatan pemulihan perekonomian global melalui penerapan aspek governance dan kehati-hatian untuk menjaga stabilitas sistem keuangan serta memastikan perlindungan konsumen, memitigasi risiko dan mengawasi kepatuhan industri terhadap peraturan yang ada
Sumber: Republika
0 komentar:
Posting Komentar