Upaya pemerintah untuk mengendalikan penyaluran BBM bersubsidi melalui aplikasi MyPertamina menciptakan kebingungan di masyarakat. Hal ini lantaran sosialisasi yang dilakukan pemerintah dinilai kurang efektif.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai komunikasi publik yang dilakukan pemerintah untuk mensosialisasikan penerapan subsidi tertutup dengan aplikasi MyPertamina kurang optimal.
Hal tersebut tercermin dari adanya kesalahpahaman di kalangan masyarakat mengenai proses penggunaan aplikasi tersebut. Menurut Tulus, opini masyarakat mengenai penggunaan aplikasi MyPertamina yakni setiap pembelian BBM bersubsidi di SPBU harus menggunakan aplikasi tersebut di ponsel pintar atau smartphone.
Padahal, aplikasi MyPertamina hanya digunakan sebagai medium pendaftaran calon penerima BBM bersubsidi. "Terjadi kepanikan publik perihal pendataan untuk untuk sepeda motor. Padahal, dari diskusi terakhir itu hanya berlaku pada kendaraan roda empat. Roda dua belum," kata Tulus dalam Energy Corner, Senin (4/7).
Kuota Pertalite dan Solar Tak Mencukupi Sampai Akhir Tahun
Pada kesempatan yang sama Komisi VII DPR mengatakan kuota BBM bersubsidi Pertalite yang telah ditetapkan pada awal tahun sejumlah 23,5 juta kiloliter (KL) tidak dapat mencukupi hingga akhir tahun. Sama halnya dengan solar yang dalam APBN 2022 ditetapkan kuotanya sebesar 13 juta KL.
Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, menyampaikan komsumsi Pertalite dalam waktu enam bulan pertama tahun ini sudah mencapai 2/3 dari kuota yang ditetapkan. Guna menutup kemungkinan krisis energi, DPR bersama pemerintah terus meningkatkan pengawasan distribusi sekaligus menambah kuota BBM bersubsidi.
"Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bulan lalu, kami sepakat untuk menambah Pertalite sampai 5 juta KL dan solar ditambah sampai 6 juta KL," kata Sugeng.
Sugeng pun mengakui bahwa pemberian subsidi telah melampaui batas dan kemampuan APBN. Ia menilai, hal tersebut disebabkan oleh meroketnya rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP). Pada APBN 2022, ICP dipatok di harga US$ 63 per barel. Angka ini jauh di bawah harga ICP saat ini yang sudah mencapai US$ 117,62 per barel.
"Maka perlu kompensasi karena selama ini ditanggung Pertamina yang juga menjalankan fungsi Public Service Obligation (PSO), mereka sebagai korporasi pasti ada batasnya karena perlu semacam working capital," sambung Sugeng.
Sugeng menambahkan, saat ini pemerintah sudah mulai menerapkan subsidi tertutup dalam penyaluran distribusi BBM Pertalite dan Solar. Dengan skema digital, Sugeng optimis jumlah konsumsi dan kuota BBM bersubsidi bisa dikontrol secara lebih transparan.
"Kita ini ada data orang dari RT, RW, keluarahan, kabupaten mestinya kita mampu mengidentifikasi keluarga mana yang harus menerima BBM, gas, listrik, maupun pangan bersubsidi," ujarnya.
Politikus Parta Nasional Demokrat (Nasdem) itu berharap program distribusi BBM bersubsidi melalui skema digital bisa lebih tersosialisasi di masyarakat, khususnya kepada masyarakat menengah ke bawah dan usaha kecil yang menjadi terget utama penerima subsidi.
"Apa yang dilakukan Pertamina (dengan MyPertamina) adalah bagian dari itu, ini alat. Yang penting adalah data yang layak disubsidi," jelas Sugeng.
Sebelumnya, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memprediksi kuota BBM bersubsidi, Pertalite dan solar, bakal habis pada Oktober atau November 2022 jika penyalurannya tidak segera dikendalikan.
Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman mengatakan bahwa realisasi penyaluran BBM bersubsidi hingga 20 Juni 2022 baik solar maupun Pertalite sudah di atas 50%. Simak databoks berikut:
Penyaluran Pertalite sudah mencapai 57,56% atau sekitar 13,26 juta kiloliter (KL) dari total kuota tahun ini 23,05 juta KL. Sedangkan solar sudah mencapai 51,24% dari total kuota tahun ini sebesar 15,10 juta KL dengan rata-rata konsumsi bulanan di atas 10%.
“Jika tidak dilakukan pengendalian, kita akan menghadapi subsidi habis antara Oktober dan November 2022, dan di akhir 2022 penyalurannya di atas kuota,” ujarnya dalam Webinar E2S BPH Migas, dikutip Kamis (30/6).
Saleh menambahkan bahwa tugas BPH Migas ini adalah melakukan pengaturan dan pengawasan penyediaan dan pendistribusian BBM agar betul-betul tepat sasaran dan sesuai dengan kuota yang diberikan oleh pemerintah.
“Dari sisi pengendalian, konsumen yang berhak menerima subsidi solar itu sudah diatur secara lengkap di Perpres No.191 Tahun 2014, misalnya transportasi, mobil pelat hitam, pelat kuning, perikanan, pertanian hingga 2 hektare (ha), pelayanan umum dan sebagainya. Mobil BUMN, mobil dinas tidak disebutkan di situ,” papar Saleh.
Tidak hanya mengatur siapa yang berhak membeli, BPH Migas juga mengeluarkan aturan yang juga mengatur volume maksimal per hari yang boleh dibeli oleh konsumen, yakni 60 liter untuk mobil kendaraan pribadi, 80 liter untuk mobil barang dan penumpang, dan 200 liter untuk kendaraan roda 6 ke atas. []
Sumber: Katadata
0 komentar:
Posting Komentar