JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, dinamika perekonomian global sepanjang 2023 berubah sangat cepat. Bahkan, Perry menyebut dinamika ekonomi global tersebut cenderung memburuk dengan memanasnya konflik di sejumlah negara.
"Ini dipengaruhi dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, baik Rusia dan Ukraina, dan sekarang tentu saja adalah di Timur Tengah, serta agresifnya pengetatan moneter di Amerika Serikat," kata Perry dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi XI DPR, Senin (13/11/2023).
Perry menuturkan, ciri pertama yang terjadi berkaitan dengan dinamika global tersebut yaitu terjadinya pelemahan ekonomi global. Perry menuturkan, pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diproyeksikan hanya 2,9 persen, bahkan akan semakin melemah pada 2024 menjadi 2,8 persen.
"Tahun sebelumnya (diperkirakan) 3,5 persen dan kami perkirakan 3 persen, lalu lebih rendah lagi 2,9 persen dengan pertumbuhan atau divergensi antarnegara berbeda," ucap Perry.
Selanjutnya, ciri kedua yaitu laju inflasi yang masih tinggi. Perry mengungkapkan, tingginya laju inflasi saat ini masih terlihat meskipun pengetatan kebijakan moneter sudah dilakukan dan berdampak kepada suku bunga acuan.
"Inflasi yang tinggi ini menyebabkan suku bunga negara maju, khususnya di Amerika Serikat, itu semakin tinggi dan kemungkinan akan lama diikuti dengan mata uang dolar AS yang sangat kuat dan juga pelarian modal ke aset global yang likuid," ujar Perry.
Sementara itu, di Indonesia, Perry mengakui, inflasi sudah turun pada 2023 jika dibandingkan dengan 2022 yang mencapai 8,5 persen, sementara pada kuartal IV 2023 menjadi 5,1 persen. Perry memproyeksikan, inflasi di Indonesia pada 2024 juga masih melanjutkan penurunan. "Tahun depan juga akan turun, tapi juga masih lebih tinggi dari 3 persen atau 3,8 persen mungkin," ujar Perry.
Di samping itu, Perry mengungkapkan, inflasi global baru akan mulai menurun pada paruh kedua 2024. Meskipun begitu, Perry memproyeksikan sejumlah negara maju masih terus melakukan pengetatan moneter yang lebih agresif.
Masih tingginya laju inflasi juga memungkinkan bank sentral AS, the Fed, masih terus melakukan pengetatan kebijakan moneter. "Suku bunga Fed Funds Rate (FFR) kami perkirakan masih bisa naik sekali lagi pada akhir tahun ini menjadi 5,75 persen dari 5,5 persen," kata Perry.
Perry mengatakan, FFR pada 2024 juga diramalkan masih tinggi. Meskipun begitu, Perry tidak menutup kemungkinan the Fed akan menurunkan suku bunga acuannya pada 2024 menjadi 5,25 persen. "Kemungkinan FFR baru akan mulai turun pada paruh kedua tahun depan," tutur Perry.
Selain itu, Amerika Serikat kini juga tengah dihadapkan pada besarnya utang pemerintah akibat pandemi Covid-19 dan perang. "Kondisi itu menyebabkan suku bunga obligasi pemerintahan Amerika Serikat atau yield UST juga meningkat tajam," tutur Perry.
Perry mengungkapkan, pada kuartal III 2023, yield UST meningkat tajam dari 3,84 persen menjadi 4,57 persen. Perry menegaskan, masih ada kemungkinan yield UST naik 5,16 persen pada akhir tahun ini dan akan bertahan relatif tinggi pada 2024.
"Yield UST pada paruh kedua 2023 mungkin akan turun 4,87 persen" ujar Perry.
Perry menilai kondisi tersebut memerlukan upaya ekstra keras dari seluruh negara emerging market, termasuk Indonesia. Khususnya untuk menjaga ketahanan ekonomi dari dampak stabilitas nilai tukar rupiah dan pelarian modal serta stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2023 terpantau melambat. Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini, ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pemerintah perlu melakukan sejumlah hal.
"Perlu diwaspadai untuk pertumbuhan ekonomi pada kuartal terakhir, menurut saya, bagaimana pemerintah mengantisipasi dampak El Nino yang diperkirakan bisa saja lebih lama dari proyeksi sebelumnya," kata Yusuf.
Dia menegaskan, pemerintah perlu memastikan distribusi produksi barang pangan ataupun barang strategis. Menurut dia, hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah agar kenaikan harga tidak terjadi karena bisa berpotensi menekan daya beli kelompok menengah ke bawah.
Pemerintah juga perlu memastikan belanja APBN dapat terealisasi penuh pada kuartal IV 2023. "Sehingga, ini yang kemudian bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi secara umum dan membantu pemerintah untuk mencapai target akhir pertumbuhan ekonomi sepanjang 2023 ini," tutur Yusuf.
Meskipun begitu, Yusuf menjelaskan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga secara pola pada umumnya relatif lambat atau lebih rendah, khususnya jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua. "Hal ini wajar karena pada kuartal ketiga, terutama kalau kita bicara konteks, tidak ada dorongan, terutama bagi masyarakat, untuk melakukan konsumsi," ucap Yusuf.
Hal itu, menurut dia, yang kemudian memindahkan pola konsumsi masyarakat pada kuartal II. Sebab, kata Yusuf, pada kuartal II terjadi momentum perayaan hari besar keagamaan yang menjadi salah satu faktor pendorong konsumsi masyarakat.
Terlebih, Yusuf menyebut pada kuartal III terjadi peningkatan harga beberapa komoditas pangan. "Hal ini tidak terlepas dari mulai redanya dampak dari El Nino sehingga dorongan ke konsumsinya tidak ada," ungkap Yusuf.
Yusuf mengatakan, beberapa komoditas pangan juga mengalami kenaikan harga. Oleh karena itu, konsumsi rumah tangga atau swasta relatif mengalami perlambatan pertumbuhan.[]
Sumber: Republika
0 komentar:
Posting Komentar