majalahtabligh.com

BMT Vs Hadis: Jangan Jual yang Tidak Kau Miliki

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Salah satu hadis yang banyak dijadikan acuan dalam kajian fikih muamalah adalah hadis Hakim bin Hizam.
Beliau pernah bercerita,
Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sampaikan, ‘Ada orang yang mendatangiku, memintaku untuk menyediakan barang yang tidak aku miliki. Bolehkah saya belikan barang itu dipasar, kemudian aku jual barang itu kepadanya?’
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad 15705, Nasai 4630, Abu Daud 3505, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalam riwayat lain, Hakim pernah mengatakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melarangku untuk menjual barang yang tidak aku miliki. (HR. Turmudzi 1280 dan dishahihkan al-Albani).
Ketika membawakan hadis ini, Turmudzi menyatakan,
Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Mereka membenci seseorang menjual apa yang tidak dia miliki. (Sunan at-Turmudzi , 5/142)

Siapa Hakim bin Hizam?

Tidak salah jika dalam artikel ini, kita mengenali siapa beliau. Meskipun bisa jadi tidak ada kaitannya dengan masalah fikih muamalah.
Hakim bin Hizam, salah satu pemuka Quraisy, keponakan Khadijah radhiyallahu ‘anhu. Sebelum diutus jadi nabi, Rasulullah sangat dekat dengan Hakim. Sampai beliau jadi Nabi, Hakim masih menjalin hubungan dekat dengan beliau. Meskipun demikian, Hakim baru masuk islam ketika fathu Mekah.
Hakim termasuk orang berada. Beliau yang membeli budak bernama Zaid bin Haritsah, yang kemudian dihadiahkan kepada bibinya, Khadijah. Kemudian, oleh Khadijah, Zaid dihadiahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hakim beberapa kali meriwayatkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Fiqh Muamalah. Diantaranya, hadis tentang hak khiyar dalam jual beli.
Dari latar belakang ini, kita bisa memahami mengapa Hakim mendapatkan pesanan barang dari konsumennya.

Akad Pesan Memesan

Dalam transaksi pesan memesan, kita mengenal istilah jual beli salam.  Dalam jual beli ini, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dia jual (bai’ ma’dum). Pembeli hanya memesan barang kepada penjual, berdasarkan kriteria tertentu, dengan pembayaran tunai di depan.
Jual beli semacam ini, telah dipraktekkan para sahabat sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Dan beliau izinkan, namun dengan batasan tertentu.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, sementara masyarakat melakukan transaksi salam untuk buah-buahan selama rentang setahun atau dua tahun. Lalu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan,
Siapa yang melakukan transaksi salam untuk kurma, hendaknya dia lakukan dengan timbangan yang pasti, takaran yang pasti, sampai batas waktu yang pasti. (HR. Ahmad 3370 & Muslim 4202).
Salah satu bukti bahwa orang yang melakukan salam tidak memiliki barang, bisa kita simak pada praktek sahabat, yang diceritakan Abdullah bin Abi Aufa,
“Kami mendapatkan ghanimah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang penduduk Anbath dari saerah Syam. Lalu kami melakukan jual beli salam dengan mereka untuk gandum halus, gandum kasar, dan zabib sampai batas tertentu.”
Tabiin yang menjadi perawi hadis ini, Muhammad bin Mujalid, bertanya kepada sahabat Abdullah bin Abi Aufa,
Apakah orang Anbath itu memiliki ladang tanaman tadi ataukah tidak memiliki?
Jawab Sahabat,
“Kami tidak pernah menanyakan hal itu kepada mereka.” (HR. Bukhari 2254).
Dalam riwayat ini, menujukkan bahwa sahabat tidak mempermasalahkan apakah penjual memiliki barang yang dipesan atau belum. Bagi sahabat, yang penting barang itu sampai kepada mereka, tanpa peduli dari mana penjual itu medapatkan barang yang dipesan.
Kita hendak memberikan pesan yang hendaknya dicatat, dalam jual beli salam, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dipesan.

Bagaimana Dengan Hadis Hakim bin Hizam?

Dalam hadis Hakim di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.”
Mengapa di sini dilarang, sementara dalam transaksi salam dibolehkan menjual barang yang tidak dimiliki?
Padahal sama-sama bai’ ma’dum (menjual barang yang tidak dimiliki).

Memesan Barang Ada 2 Cara

Pertama, memesan barang berdasarkan kriteria (al-Mausuf  fi dzimmah).
Si A memesan sebuah komputer kepada si B. Si hanya menyebutkan beberapa kriteria dan spesifikasi komputer yang dipesan. Dia sebutkan detail kriteria procesornya, motherboard, VGA, RAM, dst… termasuk casingnya.
Dalam hal ini, si B menjual barang yang al-Mausuf  fi dzimmah.
Kedua, memesan barang yang sudah ditentukan (Bai al-Muayyan).
Si A pesan kepada si B. Dia pesan, tolong belikan komputer yang sudah dipajang di etalase toko x, paling pojok. Ada tulisannya SALE.
Atau si A butuh HP. Dia datang ke si B, kemudian mereka berdua ke toko HP. Si A silahkan memilih sendiri jenis HP yang diinginkan. Nanti si B yang bayar. Selanjutnya si A nyicil pembayarannya ke si B, dengan harga lebihi.
Mengingat metodenya beda, maka ulama memberikan hukum yang berbeda untuk kedua transaksi.
Untuk transaksi yang pertama, para ulama membolehkan. Dalilnya adalah adanya jual beli salam yang dipraktekkan para sahabat dan direstui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para sahabat dalam transaksi salam, mereka pesan barang berdasarkan kriteria (Mausuf fi dzimmah). Bukan muayyan (tertentu).
Sementara dalam transaksi kedua, para ulama melarangnya, berdasarkan hadis Hakim bin Hizam di atas.
Karena antara Hakim dan konsumennya, tinggal dalam satu kota yang sama. Sementara pasar bisa mereka jangkau. Sehingga tanpa Hakim, konsumen bisa beli sendiri itu. Namun konsumen mendatangi Hakim, salah satu kemungkinan latar belakangnya adalah konsumen tidak memiliki uang untuk beli barang itu, sehingga dia minta Hakim untuk membelikannya secara tunai, kemudian orang ini bayar ke Hakim dengan harga yang lebih mahal.
Al-Khithabi menjelaskan hadis Hakim,
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan kau jual apa yang bukan milikmu.” maksudnya adalah jual beli barang muayyan, bukan jual beli berdasarkan batasan kriteria dan spesifikasi. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan jual beli salam, tertunda sampai batas waktu tertentu? Padahal itu termasuk jual beli yang tidak dimiliki ketika akad. Beliau melarang jual beli yang tidak dimiliki penjual karena alasan gharar (tidak jelas). (Ma’alim as-Sunan, 3/140).
Bisa kita catat, hadis tentang larangan jual beli yang tidak dimiliki, tidak berlaku untuk jual beli yang pemesanannya dengan menyebutkan kriteria.
Kesimpulan ini juga disampaikan Ibnul Qoyim,
Sebagian orang menyangka bahwa jual beli salam, dikecualikan dari larangan jual beli dalam hadis Hakim bin Hizam. Karena bukan termasuk jual beli yang tidak dimiliki. Padahal tidak demikian. Karena hadis Hakim bin Hizam, hanya berlaku untuk bai’ al-A’yan (menjual barang yang sudah ditentukan).
Sementara Salam, akadnya bersifat tanggungan. Dan sesuatu yang tertanggung, dijamin, dianggap ada. Sementara menjual barang yang tidak dimiliki, dilarang karena tidak dijamin dan tidak menjadi tanggungannya. Tidak pula ada di tangan penjual. Intinya, barang harus ada dalam tanggungan bagi pembeli atau di tangan penjual. (Hasyiyah Sunan Abi Daud, 9/299).

Kasus BMT & Koperasi Syariah

Ada konsumen butuh kulkas. Dia tidak punya dana tunai. Datang ke BMT untuk ditalangi beli kulkas. Dan dibayar kredit. Tentunya dengan harga lebih mahal. BMT menawarkan, untuk bersama-sama datang ke toko elektronik, dan konsumen boleh memilih sendiri barang yang diinginkan, dan BMT yang bayar.
Pada hakekatnya, jual beli seperti inilah yang dilarang dalam hadis Hakim bin Hizam.
Karena ketika  konsumen memilih sendiri barang itu, kemudian dia minta BMT untuk membelikannya, statusnya bai’ mua’ayyan (jual beli barang tertentu).
Dan yang terjadi hakekatnya bukan konsumen beli kulkas ke BMT, tapi utang duit ke BMT, dan nanti melunasi secara bertahap dengan nilai lebih dari yang dijual.
Atau bisa juga dengan pendekatan kedua, BMT menjual barang yang belum diserah terimakan.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” (HR. Bukhari 2133 & Muslim 3915)
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
“Menurutku bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Muslim 3915)
Dan dari Zaid bin Tsabit, beliau mengatakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang di tempat pembeliannya sampai barang itu dipindahkan pedagang ke tempatnya. (HR. Abu Daud 3501 dan dihasanka al-Albani)
Ketika BMT membeli kulkas itu, dia langsung jual ke konsumennya, sementara belum dipindahkan dari toko. Dan ini terlarang dengan hadis di atas.
Ini berbeda jika konsumen pesan barang yang diinginkan ke BMT, dengan menyebutkan spesifikasi tertentu. Selanjutnya BMT yang mencarikan sendiri barang yang diinginkan konsumen. Ini termasuk bai’ mausuf fi dzimmah. Jual beli yang barangnya dijamin penjual.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits 
Share on Google Plus

About PebisnisMuslim.com

Pebisnis Muslim News adalah situs informasi bisnis dan ekonomi Islam yang dikelola oleh Pebisnis Muslim Group.

0 komentar:

Posting Komentar