PebisnisMuslim.Com, Jakarta - Nurdin dan Suhartang terlebih dahulu mengecek seragam keselamatan kerja (coverall) yang mereka pakai. Setelah
memastikan
semua terpasang sebagaimana mestinya, dua pemuda berusia 21 tahun ini
pun dengan cekatan mempersiapkan perlengkapan keselamatan (emergency rescue) tanpa hambatan.
Tadinya mereka pemuda desa biasa, namun sekarang mereka telah memiliki keahlian mengecek keamanan operasi di
sebuah perusahaan minyak dan gas bumi (migas) di Kalimantan Timur.
“Alhamdulillah, sudah dua tahun lebih kami bekerja. Kami meningkatkan kompetensi dengan mengikuti berbagai pelatihan,” kata Suhartang.
Hari-hari
mereka berubah setelah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS)
migas tersebut membuka kesempatan magang dan memberikan pelatihan bagi
warga lulusan sekolah menengah di sekitar wilayah operasi.
Hasilnya, Nurdin dan Suhartang mengikuti pelatihan emergency rescue team selama 3 bulan sebelum akhirnya resmi menjadi karyawan Kontraktor KKS tersebut di awal 2013.
Cerita
seperti Nurdin dan Suhartang ini tidak hanya terjadi di Kalimantan
Timur, tetapi di berbagai pelosok nusantara tempat industri hulu migas
beroperasi. Meski bukan industri padat karya yang mampu menyerap Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) secara masif sekaligus, industri hulu migas
memastikan TKI mendapat prioritas tertinggi untuk bekerja di sektor yang
dikelola negara ini.
“Kontraktor KKS tidak bisa sembarangan
mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri meski yang bersangkutan
merupakan karyawan dari kantor pusat kontraktor,” ujar Amien Sunaryadi,
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas) beberapa waktu lalu.
Kontraktor KKS wajib mendapatkan persetujuan SKK Migas untuk Rencana Penggunaan Tenaga Kerja (RPTK).
Disinilah
aturan ketat terkait penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) diterapkan.
TKA hanya dibatasi untuk bidang yang keahlian TKI masih terbatas atau
sebagai perwakilan investor. Selain itu, TKA disyaratkan untuk memiliki
pengalaman
minimum 10 tahun.
SKK Migas juga mengeluarkan
persetujuan penggunaan TKA dan rekomendasi IMTA (Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing) untuk memastikan TKA yang dipakai memenuhi
kualifikasi yang disyaratkan.
Pengutamaan TKI dalam bisnis hulu
migas terlihat jelas dari persentase jumlah TKI dalam industri ini. Data
SKK Migas menunjukkan serapan TKI terus meningkat seiring bertambahnya
jumlah Kontraktor KKS. Hingga akhir 2014, sektor hulu migas menyerap
32.292 TKI, sementara TKA hanya 1.165 orang. Artinya, jumlah pekerja
nasional di industri hulu migas mencapai 96,4 persen.
Selain
memprioritaskan mempekerjakan TKI, industri hulu migas juga menjalankan
kebijakan untuk meningkatkan skill pekerja nasional. Misalnya, para expatriate
diwajibkan melakukan transfer teknologi kepada pekerja lokal. Selain
itu, para pekerja nasional diberikan berbagai pelatihan terutama yang
bersertifikasi internasional. SKK Migas juga menjalin kerja sama dengan
pusat pendidikan dan pelatihan terkait supaya pekerja Kontraktor KKS di
level operator dan teknisi
mendapatkan sertifikat Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Program
pemberdayaan pekerja ini tentunya tetap memperhatikan efisiensi biaya.
Misalnya saja, SKK Migas telah mengembangkan program cross posting yang memungkinkan pekerja idle di suatu Kontraktor KKS untuk bekerja sementara di Kontraktor KKS yang lain.
“Penggunaan tenaga kerja tetap harus mengutamakan prinsip efisiensi dan mengutamakan tenaga kerja nasional,” ungkap Amien.
Sumber: Liputan6
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar