Hal
itu menurut pengamat Perbankan Syariah dari Universitas Airlangga Imron
Mawardi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Saat ini, terdapat
puluhan fintech yang akan dan sudah beroperasi di Indonesia, termasuk
berbasis layanan syariah. Namun masih sedikit yang sudah terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). ”Jenisnya juga beragam, di antaranya peer
to peer dan Crowd founding. PayTren
merupakan salah satu fintech yang berbasis Syariah. Hal itu dibuktikan
dengan sertifikasi dari MUI,” jelasnya dalam Seminar Ekonomi Syariah di
Graha Astranawa Surabaya kemarin (21/8).
Fintech
Syariah sendiri memiliki kriteria khusus yang harus dipenuhi agar halal
diaplikasikan. Di antaranya tidak mengandung unsur riba, dhoror
(penipuan), dhorot (efek negatif), dan Al jahalah (tidak ada
transparansi) antara penjual dan pembeli. “Selama PayTren
terhindar dari empat ini, hukumnya halal,” kata Reza Ahmad Zahid, LC.
MA, pengasuh Ponpes Al. Mahrusiyah, Lirboyo yang juga menjadi
pembicara.
Seminar itu memang
menjadi forum diskusi juga untuk mengangkat halal atau haramnya
financial technology Syariah. ”Seperti halnya hukum asal mualamat
menurut kaidah fiqih, segala sesuatu di dunia boleh. Selama tidak ada
dalil dan argumen yang mengharamkannya maka tetap boleh,” jelas Reza.
Hal senada juga diutarakan oleh KH. Ma’ruf Khozin dari PWNU Jatim. Menurutya masalah ekonomi bisa dikembangkan dan diinovasikan asalkan tidak melanggar rambu-rambu kaidah yang ada. MUI pastinya butuh waktu lama untuk memberikan sertifikat syariah kepada pihak tertentu. “Jika PayTren belum memenuhi syarat, maka Dewan Syariah Nasional MUI tidak akan memberikan sertifikat tersebut,” jelasnya. []
Sumber: Jpnn
0 komentar:
Posting Komentar