JAKARTA -- Praktik penggunaan dinar dan dirham dinilai masih diperbolehkan dalam batasan tertentu. Pengamat Ekonomi Syariah IPB University, Irfan Syauqi Beik menyampaikan promosi dinar dirham bisa dilakukan dalam dua hal.
"Jadi promosikan dinar dirham itu bs dalam dua hal, pertama tentu dalam konteks akademik, ini tidak ada masalah, BI terbuka juga dengan diskusi sistem moneter Islam," katanya pada Republika.co.id, Rabu (3/2).
Kedua, diperbolehkan dalam konteks kebijakan ekonomi, posisi dinar dirham itu lebih pada fungsi barter. Hal tersebut sudah dilakukan oleh kelompok Dinarist. Artinya dinar dirham bukan sebagai mata uang karena jelas melanggar dan tidak sesuai Undang-Undang.
"Jangan jadi mata uang, tapi dalam proses memfasilitasi transaksi boleh-boleh aja, toh bitcoin yang kripto dipakai juga di mana-mana, itu bukan rupiah juga, tapi bisa fasilitasi transaksi, jadi masa yang kripto bisa, tapi emas perak tidak bisa," katanya.
Fungsi sebagai barter artinya menukar barang dengan barang yang bernilai setara. Irfan menilai praktik yang sedang ramai dilakukan di Pasar Muamalah Depok sangat perlu diskusi dan pembahasan lebih lanjut.
Perlunya otoritas dan pelaku transaksi mendudukan masalahnya supaya jelas. Pengaruhnya pada perekonomian, menurut Irfan, tidak signifikan karena fungsinya ke alat tukar, bukan sebagai uang.
"Tentu pengaruhnya ke nilai emasnya saja, kan nanti jika ramai digunakan maka masyarakat banyak minta emas, harga emas akan naik juga," katanya.
Dari sisi tersebut keberlangsungan ekonomi tidak akan terganggu. Apalagi volume transaksi yang dilakukan itu masih kecil, jadi belum signifikan mempengaruhi sistem moneter dan keuangan nasional.
Irfan menyampaikan pendiri Pasar Muamalat perlu Zaim Saidi perlu diberikan kesempatan untuk menjelaskan praktik dinar dirhamnya. Karena praktik dinar dirham sebagai mata uang hingga saat ini tidak digunakan di negara mana pun.
"Yang pakai gold monetary system tidak ada, di negara yang pakai mata uang dinar dirham pun pakai uang kertas bukan emas," katanya.
Ia berharap aktivitas di Depok perlu menjadi sarana dialog bagi otoritas, dalam hal ini Bank Indonesia. Dijelaskan bahwa penggunaan sebagai mata uang tidak boleh, dan pelakunya perlu menyadari dan mengikuti ketentuan ulil amri saat ini.
Irfan mengatakan dampak dari transaksi ini pun belum signifikan. Menurutnya, praktik kripto malah lebih bahaya dibandingkan dengan sistem barter dinar dirham.
"Kripto ini yang harus dikelola karena bisa menimbulkan risiko sistemik," katanya. []
Sumber : Republika
0 komentar:
Posting Komentar