Dunia investasi, bukan hanya global tapi juga nasional, tampaknya semakin meriah. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan sang primadona baru, Non-Fungible Token. Populer disebut NFT, warga dunia terus membincangkannya. Tak terkecuali di Indonesia yang sempat heboh gara-gara “ulah” seorang mahasiswa bernama Ghozali yang ketiban rezeki nomplok: lebih dari 400 foto selfie NFT-nya terjual senilai Rp 13,8 miliar.
NFT berasal dari dua kata dasar: “Fungibility” dan “Token”. Kata pertama adalah tentang kemampuan sebuah aset untuk ditukar dengan aset serupa yang memiliki nilai yang sama. Misalnya, selembar uang Rp 100 ribu memiliki nilai yang sama dengan dua lembar Rp 50 ribu. Adapun “token” adalah aset digital yang bisa mewakili barang, layanan, serta bentuk nilai tertentu. Pendek kata, NFT adalah bukti (sertifikat) kepemilikan aset digital. Adapun aset digital yang dimaksud itu sendiri sangat beragam, termasuk video, musik, foto, gift, dan png.
Untuk membeli sebuah NFT, digunakan mata uang kripto. Transaksi NFT itu sendiri dicatat dalam sebuah buku besar, yang dikenal sebagai blockchain. Data ini berisi informasi tentang pencipta, harga, berikut sejarah kepemilikan (jual-beli) sebuah NFT. Sebagian besar transaksi menggunakan mata uang kripto, ether (ETH), yang merupakan koin buatan Ethereum.
Jangan heran jika NFT menggunakan kripto. Ini memang aset digital yang tumbuh dan berkembang dari keluarga cryptocurrency, seperti halnya aset kripto yang lahir lewat pemanfaatan teknologi blockchain seperti Bitcoin.
NFT mulai populer pada tahun 2017, ketika game Crypto Kitties meluncur pertama
kali. Crypto Kitties adalah game berbasis blockchain Ethereum. Di sini, para pemain dapat mengadopsi, memelihara, sekaligus memperdagangkan kucing virtual.
Perkembangan pesat NFT terjadi pada akhir Januari 2021. NFT menjadi medium baru koleksi digital karya para seniman, musisi, dan atlet, tanpa harus melalui perantara pihak ketiga. Artinya, mereka ⸺para seniman, musisi dan atlet⸺ sendiri bisa membuat NFT-nya masing-masing.
Oh ya, apa sih perbedaan NFT dan aset kripto seperti Bitcoin atau Ethereum?
Seperti aset kripto lainnya, NFT dibuat dengan pemrograman yang sama. Namun, persamaannya sampai di titik ini saja. Mata uang kripto nilainya akan sama: 1 Ethereum tetaplah 1 Ethereum (hanya saja, nilainya ketika ditransaksikan menggunakan mata uang fisik, seperti US$, Euro, atau Rp, fluktuatif sesuai dengan harga pasar).
Berbeda dengan mata uang kripto, NFT tidak memiliki kesamaan nilai. Setiap NFT mempunyai tanda tangan digitalnya sendiri sehingga tidak memungkinkan untuk ditukar atau memiliki nilai yang setara dengan NFT lainnya. Dengan demikian, sebuah klip NFT tidak akan memiliki nilai sepadan dengan NFT lainnya, walaupun sama-sama NFT.
Intinya: setiap NFT dibuat hanya sekali, dan tidak bisa ditukar atau ditransaksikan dengan NFT lainnya. Mengapa?
Karena, tidak ada yang memiliki nilai setara. Setiap NFT memiliki data yang unik selayaknya sidik jari manusia: berbeda satu sama lain. Kemudian, kepemilikannya bersifat mutlak. Artinya, siapa pun yang sedang memiliki aset tersebut, mempunyai hak milik sepenuhnya. Perlu juga dicatat, sebuah NFT tidak dapat dibagi menjadi denominasi yang lebih kecil seperti halnya uang kripto yang bisa dipecah menjadi desimal (nol koma sekian).
Lantaran sifat uniknya tersebut, popularitas NFT pun melejit pada industri seni, hobi, serta entertainment (hiburan). Pasalnya, NFT menawarkan imbalan yang besar bagi seniman, musisi, dan atlet, yang datang dari kucuran uang para investor atau kolektor yang bersedia membayar aset digital orang-orang tersebut (seniman, dst.).
Hal ini terbukti pada Maret 2021 ketika seorang seniman digital, Mike Winklemann (lebih dikenal dengan panggilan Beeple), menjual karya NFT-nya, “Everyday: The First 5000 Days” senilai US$ 69,3 juta (lebih dari Rp 1 triliun) di balai lelang Christie’s. Nilai itu menjadi rekor penjualan termahal, sekaligus memicu demam NFT di seantero bumi.
Laiknya sebuah bisnis, tren melonjaknya NFT pada akhirnya berdampak besar bagi perusahaan-perusahaan pendukung ekosistem aset digital ini. Salah satu yang meraup untung paling besar adalah OpenSea, lokapasar (marketplace) terbesar untuk NFT. Seperti lazimnya sebuah marketplace pada umumnya, OpenSea mempertemukan dua sisi untuk bertransaksi: penjual dan kolektor (pemilik) NFT.
Seiring popularitas NFT yang meningkat, transaksi di OpenSea melonjak drastis. Maret 2020, pengguna lokapasar ini mencapai 4.000 orang dengan nilai transaksi sekitar US$ 1,1 juta (Rp 15,7 miliar). Pada Agustus 2021, nilai transaksi mencapai US$ 3,4 miliar (Rp 48,7 triliun). Januari 2022, OpenSea makin berkibar. Mengacu data situs analitik kripto Dune Analytics, perputaran uang di lokapasar ini sudah melewati US$ 3,85 miliar (Rp 55,4 triliun)!
Dahsyat, tentu saja. Tak mengherankan, selayaknya bisnis yang prospektif, OpenSea pun akhirnya jadi incaran investor. Tahun 2020, OpenSea meraup pendanaan sekitar US$ 28 ribu (Rp 400 juta). Jumlah ini melonjak begitu tinggi pada Juli 2021 sewaktu Andreessen Horowitz menyuntik US$ 100 juta (Rp 1,4 triliun). Januari 2022, giliran Paradigm dan Coatue Management yang menginjeksi US$ 300 juta (Rp 4,3 triliun).
Dengan melonjaknya transaksi berikut injeksi investor, tak ayal, tatapan orang pun tertuju pada para pendiri OpenSea: Devin Finzer serta Alex Atallah. Keduanya disebut-sebut langsung menjadi miliarder muda. Baik Finzer maupun Atallah ⸺masing-masing memiliki 18,5% saham OpenSea⸺ ditaksir memiliki kekayaan US$ 2,2 miliar (Rp 31,5 trilun).
Merunut ke belakang, kesuksesan tersebut diraup dua sahabat ini lewat perjalanan tersendiri. Finzer lahir tahun 1990. Sejak kecil, bakat komputasi sudah terlihat pada dirinya. Hal ini tak mengherankan karena orang tuanya memang ilmuwan: ibunya fisikawan, sedangkan ayahnya seorang software engineer. Dibesarkan di San Francisco Bay Area dan menuntut ilmu di Miramonte High School di Orinda, California, Finzer kuliah Ilmu Komputer dan Matematika di Brown University, Rhode Island, Amerika Serikat.
Semasa kuliah, Finzer magang di Wikimedia Foundation (organisasi yang menaungi Wikipedia, Wiktionary, Wikiquote, Wikibooks, dan aneka proyek kolaboratif Meta-Wiki), Google Cloud Platform, serta Flipboard sebagai software engineer. Setelah lulus, dia melanjutkan kariernya di Pinterest sebagai software engineer.
Selepas dari Pinterest, Finzer mendirikan dan mengembangkan Eye Chart Pro, sebuah aplikasi untuk pengujian penglihatan. Lalu, mendirikan startup pertamanya, Claimdog, yang kemudian diakuisisi oleh Credit Karma.
Seperti halnya Finzer, Atallah (yang usianya dua tahun lebih muda dibandingkan sahabatnya itu) juga sudah terlihat berbakat di dunia komputasi sejak belia. Saat jadi mahasiswa di Stanford, Atallah bekerja di Palantir, dan setelah lulus, dia bekerja di startup Silicon Valley, Zugata, dan Whatsgoodly.
Pada 20 Desember 2017, Finzer dan Atallah mendirikan marketplace peer-to-peer pertama untuk aset berbasis blockchain. Diberi nama OpenSea, startup ini menciptakan dan memperdagangkan berbagai macam NFT, baik seni, musik, maupun game. Sebagai platform peer-to-peer, model bisnis OpenSea sangat jelas: ia akan mengutip 2,5% dari setiap transaksi yang dilakukan pengguna untuk membeli dan menjual semua jenis NFT miliknya.
Lahirnya OpenSea tak bisa dipisahkan dari kekaguman Finzer dan Atallah melihat Crypto Kitties. Mereka meyakini adanya sebuah potensi besar dari pasar NFT. Mereka yakin seniman digital beserta content creator dapat menggunakan sebuah lokapasar untuk mentransaksikan karyanya dengan para penggemar, kolektor, atau investor.
Layaknya bisnis, OpenSea tidak langsung sukses. Finzer yang menjadi CEO dan Atallah sebagai CTO menggunakan Wyvern Protocol dan blockchain Ethereum, Polygon, dan Klatyn untuk membangun OpenSea. Lokapasar ini didesain mentraksaksikan aset digital musik, seni, dan game.
Setelah berjalan tersendat-sendat, pada Maret 2020, OpenSea yang baru memiliki lima karyawan mengalami titik balik. Penyebabnya, tentu saja, pandemi Covid-19. Situasi yang memaksa orang meringkuk di rumah atau kamar masing-masing ternyata membuat banyak orang mulai masuk ke OpenSea untuk terlibat dalam dunia NFT. Selain membunuh rasa bosan, tentu mereka berharap: syukur-syukur bisa dapat cuan dari jual-beli aset digital ini.
Pandemi pun membuat Finzer dan Atallah kompak. Mereka bisa bicara pengembangan startup-nya di tengah Kota New York yang ditutup karena Covid-19. Mereka merancang hal-hal untuk perbaikan sekaligus menetapkan target.
Dasar nasib bagus, pandemi yang memaksa orang tak bepergian membuat OpenSea turut diserbu, sebagaimana lokapasar barang fisik (pakaian, makanan, dsb). Seperti disinggung di atas, di tahun 2020, pengguna datang berduyun-duyun membuat transaksi pun melejit, menjadikan OpenSea sebagai lokapasar NFT terbesar di dunia. Terlebih setelah karya Mike Winklemann dilelang di Christie, nilai NFT bergerak semakin liar.
Tentu saja. Finzer dan Atallah bersorak gembira. Wajah mereka yang selalu tersenyum terpampang di berbagai media sejalan dengan nilai kekayaan yang “terbang ke bulan”. Maklum, dalam imajinasi yang terliar sekalipun, mereka tak menyangka menjadi triliuner di usia muda, hanya empat tahun setelah membesut OpenSea.
Namun, layaknya kesuksesan, banyak pihak yang tak rela melihat mereka melenggang sendirian menikmati “kue” NFT ini. Setelah kesuksesan ini, OpenSea menghadapi tantangan berat. Dari sisi kompetitor, OpenSea menghadapi sejumlah kompetitor, di antaranya Axie, CryptoPunks, Rarible, dan Coinbase (platform perdagangan kripto) yang pada Oktober 2021 mengumumkan rencana meluncurkan lokapasar NFT.
Kesuksesan OpenSea memang telah memicu gelombang baru lahirnya lokapasar sejenis. Salah satu yang sudah mengirim sinyal pertempuran adalah LooksRare, yang juga tengah naik daun. Setelah meluncur pada 10 Januari 2022, volume transaksi di lokapasar NFT yang satu ini telah mencapai US$ 394 juta.
Di luar itu, Finzer dan Atallah yang kini membawahkan 70 karyawan juga menghadapi ancaman dari fraudster (orang-orang curang), dan tentu saja potensi kolapsnya cryptocurrency yang dianggap menggelembung terlalu cepat sehingga potensi meletus. Oh, ya, termasuk juga menghadapi kecurigaan publik bahwa pasar NFT adalah wahana untuk pencucian uang.
Bagaimana masa depan OpenSea, dunia NFT, serta cryptocurrency itu sendiri, memang belum diketahui. Begitu pun dengan Finzer dan Atallah. Yang menarik, media-media di AS menyebut sisi positif kedua anak muda ini, yakni tampak tidak silau dengan kesuksesan yang tengah direguk. Sepertinya mereka sadar, tidak selalu gelombang pasang yang kini tengah dinikmati akan terus bergulung. Mereka harus siap melihat gelombang ini surut ke tepian. Personalitas keduanya disebut-sebut “very low-key and calm”. []
Sumber: SWA
0 komentar:
Posting Komentar