BERN -- Semester 1 tahun ini (Januari – Juni), total perdagangan Indonesia dan Swiss meningkat sebesar 55,1 persen atau senilai 1,80 miliar dolar AS, dibandingkan dengan semester 1 tahun 2021 sebesar 1,16 miliar dolar AS.
Ekspor Indonesia ke Swiss meningkat lebih dari 60 persen atau senilai 1,60 miliar AS bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai ini menjadikan Indonesia naik dua peringkat menjadi peringkat 24 eksportir terbesar di Swiss, atau 0,9 persen dari total nilai impor Swiss dari dunia (semester 1/2021: 0.6 persen).
Sementara itu, impor Indonesia dari Swiss juga meningkat sebesar 12,8 persen atau senilai 210,95 juta dolar AS, sementara pada semester 1/2021 senilai 187,05 juta dolar AS.
Secara total, surplus Neraca perdagangan Indonesia terhadap Swiss pada semester 1 tahun 2022 ini seniai 1,38 miliar dolar AS. Nilai ini naik sebesar 18,8 persen dibanding surplus neraca perdagangan di semester 1 tahun lalu sebesar 787,33 juta dolar AS.
Komoditas utama ekspor Indonesia ke Swiss masih didominasi oleh emas, logam mulia, perhiasan (HS 71), yakni 84 persen dari total ekspor Indonesia ke Swiss atau senilai 1,34 miliar dolar AS. Selain emas, komoditas yang secara konsisten menempati 5 teratas pada ekspor Indonesia ke Swiss antara lain alas kaki (HS 64) dan tekstil bukan rajutan (HS 62) dan tekstil rajutan (HS 61) masing-masing menyumbang kurang lebih 4,0 persen, 2,2 persen, 1,2 persen dari total perdagangan.
Komoditas utama yang mengalami kenaikan signifikan antara lain emas (HS 71), furnitur (HS 94), kulit (HS 42), dan electrical machinary (HS 85), yakni masing-masing naik 83,1 persen, 21,2 persen, 13,4 persen dan 10 persen. Sementara itu komoditas utama yang mengalami penurunan dibanding semester 1 tahun lalu, antara lain essential oil (HS 33) turun 20,1 persen dan machinery dan mechanical appliance (HS 84) turun sebesar 15,4 persen.
Dubes Indonesia untuk Swiss dan Liechtenstein, Muliaman Hadad, mengatakan kenaikan perdagangan Indonesia-Swiss merupakan kabar baik di tengah ekonomi global yang masih tidak menentu, apalagi adanya perang Ukraina-Rusia, dan kenaikan inflasi global.
”Situasi seperti ini, sesungguhnya memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengisi kebutuhan negara konsumen yang tadinya komoditasnya disuplai oleh Ukraina, Rusia maupun negara suplier yang terkena dampak. Swiss misalnya salah satu importir emas Rusia, sementara Indonesia juga merupakan salah satu eksportir emas terbesar dunia,” ujar mantan ketua OJK ini.
Seperti diketahui saat ini para pemimpin negara-negara terkaya di dunia (G7) bersiap untuk memberlakukan larangan impor logam mulia dari Rusia oleh Swiss. Fokus G7 adalah emas, yang merupakan komoditas ekspor terbesar kedua Rusia setelah energi.
Bila melihat total nilai perdagangan Indonesia-Swiss, data terakhir dari Swiss Federal Office for Customs and Border Security (FOCBS), pada semester ini, peringkat Indonesia sudah naik menjadi ke 33 dibandingkan semester 1/2021 yang masih menempati peringkat ke 43.
”Melompat sampai 10 ranking tentunya kabar yang sangat baik, mengindikasikan kerja sama ekonomi antara Indonesia-Swiss dapat diambil manfaatnya, seperti Indonesia-EFTA CEPA dan kerja sama lainnya,” tambah Dubes Muliaman, dalam siaran persnya.
Seperti diketahui, selama WEF 2022 di Davos, Indonesia dan Swiss juga telah menandatangani empat perjanjian ekonomi, antara lain Bilateral Investmen Treaty, Kadin dan Economiesuisse di sektor perdagangan dan sustainability, dan perjanjian Kadin dan Innosuisse di sektor capacity building dan inovasi, serta perjanjian pendirian Indonesia Trading House antara Kadin dan diaspora pengusaha Indonesia di Swiss.
Sementara itu, ekonomi Swiss masih tumbuh positif. Kementerian ekonomi Swiss (SECO) melaporkan GDP Swiss masih tumbuh 0,5 persen pada Kuartal pertama 2022. Pusat penelitian ekonomi Swiss, KOF, memperkirakan pertumbuhan GDP tahun 2022 ini yakni 2,7 persen, dan 1,6 persen pada tahun 2023.
Sementara itu, inflasi untuk pertama kalinya sebesar +3,4 persen di bulan Juni dibandingkan bulan Juni 2021. Angka inflasi ini merupakan angka tertinggi sejak 1993, meski masih dibawah Amerika dan Zona Euro (8,6 persen). Swiss National Bank (SNB) memperkirakan inflasi di Swiss pada tahun 2022 akan mencapai 2,8 persen.
Menurut angka terbaru, produk minyak bumi 48,4 persen lebih mahal pada bulan Juni tahun ini dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2021. Biaya tersebut dibebankan kepada konsumen dengan biaya transportasi naik 13 persen. Minyak pemanas, yang digunakan untuk memanaskan banyak rumah di Swiss harganya naik hampir 30 persen.
Selain itu, untuk pertama kalinya sejak tahun 2007, SNB menaikkan suku bunga dari -0,75 persen menjadi -0,25 persen. SNB juga terus berupaya agar nilai tukar Swiss Franc dapat dipertahankan terhadap mata uang lain untuk melawan inflasi.
Sumber: Republika
0 komentar:
Posting Komentar