Sangat berbeda semangat memberi dengan semangat meminta. Tatkala semangat memberi benar-benar hidup, maka tidaklah seseorang meminta-minta kecuali hanya karena keadaan yang memaksa.
Suatu saat saya melakukan perjalanan di sebuah daerah. Di tepi jalan, terdapat rumah-rumah yang bagus dengan halaman yang luas, kendaraan bagus terparkir rapi an sebagian di antara dilengkapi dengan burung piaraan bersangkar mewah. Sejenak saya bertanya kepada rekan yang menemani perjalanan saya, orang yang tinggalnya tidak jauh dari daerah tersebut. Saya bertanya sesudah mengomentari kesejahteraan penduduk di sana, “Apa bisnis penduduk sini? Bagaimana kepala daerah di kawasan ini menata penduduknya?” Saya tidak ingat persis pertanyaan saya, tetapi pada pokoknya, begitu isi pertanyaan saya.
Rekan yang menemani perjalanan saya tergeragap. Sejenak perlu waktu untukuk menjawab pertanyaan tak terduga itu. Lalu berkata pelan, “Itulah yang menjadi beban mental kami, meskipun kami tidak tinggal di kampong ini.” Kenapa? Rupanya penduduk desa tersebut rata-rata berprofesi sebagai pengemis dengan berbagai macam teknik dan kemahiran mengemis.
Jika hanya melihat “hasil pekerjaan” mereka, sepintas tidak ada masalah. Mereka sejahtera, meskipun dengan cara yang sangat tidak bermartabat, dan yang memberi derma pun boleh jadi tidak merasa kehilangan. Para pemberi derma tidak merasa keberatan memberi, meskipun tidak sedikit juga yang memberi semata karena ingin menghalau kesal, terutama karena tidak tahu bahwa peminta-minta yang mengandalkan proposal itu mencari derma untukuk dirinya sendiri. Bukan untukuk masjid atau pesantren. Tetapi jika kita membuka mata lebih lebar, banyak masalah sertaan yang mengikuti, baik bagi mereka sendiri maupun orang lain.
Apa saja akibat buruknya? Sekedar menyebut sebagian contoh saja, pertama, menjadikan meminta-minta sebagai profesi yang mereka nikmati, menyebabkan generasi berikutnya enggan menuntukut ilmu dengan bersungguh-sungguh, malas pula bekerja keras mengerahkan tenaga untukuk hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan umat. Jika ini merebak sebagai mentalitas (mental pengemis), seseorang hanya mau bekerja lebih baik jika mendapatkan insentif, bonus atau risywah (uang suap, pelicin). Dan inilah problem di negeri kita. Minta stempel pun, seolah-olah mereka tidak digaji sehingga kita perlu memberi uang lelah. Dalam lingkup lebih sempit, malasnya menuntukut ilmu dan besarnya keinginan hidup enak tanpa kerja merupakan pintu-pintu hancurnya sebuah peradaban dan lemahnya suatu negeri.
Kedua, budaya mengemis dapat menjadi beban mental yang bersifat kolektif, yakni masyarakat yang tidak turut melakukan perilaku mengemis merasa malu dan bahkan minder hanya karena tinggal di wilayah yang tak jauh dari kawasan pengemis. Kita mendapati ada sejumlah kawasan, baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah dan mungkin pula daerah lain dimana terdapat kantong-kantong daerah pengemis. Beban mental kolektif ini dapat menjadi penghambat untukuk maju.
Ketiga, kebiasaan mengemis yang dibiarkan berkembang dapat menyebabkan orang lain mengalami desensitisasi (penumpulan kepekaan) terhadap kebutuhan maupun penderitaan saudaranya seiman,k sehingga mereka tidak lagi memiliki spontanitas untukuk membantu manakala ada yang benar-benar memerlukan. Ini juga berakibat orang enggan memberi manakala ada yang sedang benar-benar didesak kebutuhan dan tidak menjadikan meminta sebagai kebiasaan.
Tiga hal tersebut merupakan sebagian saja dari berbagai keburukan budaya “tangan di bawah” yang dibiarkan berkembang hingga menjadi budaya meminta-minta. Hilang kehormatan, tak ada harga diri dan terkikis daya juang untukuk mencapai kemuliaan hidup.
Kalau begitu, boleh meminta-minta kepada orang lain? Hanya apabila benar-benar tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat mendesak dan ia tidak memiliki sesuatu pun saat itu untukuk memenuhinya, maka tidak masalah baginya meminta. Itu pun jika seseorang telah memiliki sikap untukuk lebih mencintai memberi daripada menerima (apalagi meminta), maka tidak akan ia mengharap harta dari orang lain kecuali dalam keadaan yang amat sangat mendesak.
Memberi tanpa Melemahkan Mental
Berkenaan dengan meminta, mari kita ingat sejenak penuturan Hakiim bin Hizaam radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku meminta kepada Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memberiku. Kemudian aku meminta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai Hakiim. Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barangsiapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka Allah berikan barakah kepadanya. Barangsiapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan barakah kepadanya. Dan (orang yang meminta dengan mengharap-harap) ibarat orang makan, tetapi ia tidak (pernah) kenyang (karena tidak ada barakah padanya). Tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (meminta-minta).”
Kemudian Hakiim berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu hingga aku meninggal dunia.”
Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, ia memanggil Hakiim radhiyallahu ‘anhu untukuk memberikan suatu bagian yang berhak ia terima, tetapi Hakiim tidak mau menerimanya sebab ia telah berjanji kepada Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, ia memanggil Hakiim untukuk memberikan sesuatu, tetapi ia juga tidak mau menerimanya. Kemudian’Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata di hadapan para sahabat, “Wahai kaum muslimin! Aku saksikan kepada kalian tentang Hakiim bin Hizaam. Aku menawarkan kepadanya haknya yang telah Allah berikan kepadanya melalui harta rampasan ini (fa’i), tapi ia tidak mau menerimanya. Dan Hakiim (radhiyallahu ‘anhu) tidak mau menerima apa pun dari seorang pun setelah Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sampai ia meninggal dunia.” (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya).
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati, paling ringan memberi derma. Beliau sangat lapang hati memberi di saat ada yang meminta. Tetapi sebagaimana kita pelajari dari hadis tersebut, ketika seseorang menjadikan meminta sebagai keasyikan untukuk memperoleh apa yang ia senangi, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam pun mencegahnya. Beliau memberi, tetapi mengiringinya dengan nasehat agar tidak lagi meminta-minta; memberi nasehat dengan mengingatkannya tentang barakah.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad dan yang selainnya dari Qabiishah bin Mukhariq al-Hilali radhiyallahu ‘anhu kita dapati larangan meminta-minta yang secara tegas disampaikan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, kecuali tiga golongan. Itu pun hanya ketika keadaan yang menyebabkannya boleh meminta belum teratasi. Ini semua memberi pelajaran kepada kita agar tidak menyuburkan budaya meminta-minta. Salah satu bentuk menyuburkan adalah memberi kepada mereka yang menjadikan meminta-minta sebagai sumber mencari kekayaan atau mencukupkan diri mengemis karena malas bekerja, sekalipun tidak memerlukan kerja keras yang berarti.
Sangat berbeda semangat memberi dengan semangat meminta. Tatkala semangat memberi benar-benar hidup, maka tidaklah seseorang meminta-minta kecuali hanya karena keadaan yang memaksa. Di sisi lain, tatkala semangat memberi terus hidup, orang akan lebih sungguh-sungguh bekerja dan lebih peka terhadap kebutuhan orang lain. Apalagi jika sampai pada tingkat penderitaan.
Ini berarti yang harus kita suburkan adalah semangat berbagi. Kita memberi, tetap senantiasa memperhatikan agar pemberian kita tidak salah alamat sehingga justru melemahkan orang lain dan menjadikan mereka tamak kepada dunia malas kerja. Padahal jika kecenderungan mengharap-harap pemberian ini merata di suatu kaum, maka Allah Ta’ala angkat kebarakahan dari mereka. Na’udzubillahi min dzaalik. Wallahu a’lam bish-shawab.*
Penulis buku-buku parenting. Tulisan ini pernah dimuat di majalah el-Lubb, Cilacap | Mohammad Fauzil Adhim
0 komentar:
Posting Komentar