JAKARTA -- Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)
diharapkan dapat segera menerbitkan fatwa mengenai uang elektronik
berbasis syariah. Saat ini diketahui sudah terdapat tiga bank syariah
yang memiliki uang elektronik.
Pengamat Ekonomi Syariah SEBI
School of Islamic Economics Aziz Setiawan menilai, sudah saatnya DSN MUI
untuk menerbitkan fatwa tentang uang elektronik secara khusus. Terlebih
dalam praktiknya sudah ada bank syariah yang menerbitkan dan menyusul
bank-bank syariah lainnya.
"Kita berharap fatwa yang akan
diterbitkan bisa secara detail menjawab hal teknis yang berkembang dan
juga bisa mengikat bagi penerbit uang elektronik syariah. Saat ini bank
syariah sebagai penerbit terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan
rambu-rambu syariah yang kurang tegas dan jelas dari DSN MUI," ujar Aziz
kepada Republika.co.id, Jumat (22/9).
Aziz
menilai, masing-masing bank memang meminta persetujuan produk dari
Dewan Pengawas Syariah masing-masing, namun publik belum mengetahui
konstruksi akad fikihnya secara detail. Akad fikih yang perlu dijelaskan
detail misalnya dasar akad yang membolehkan pengambilan biaya (fee).
"Jadi perlu fatwa DSN untuk penyeragaman dan menjadi clear konstruksinya," imbuhnya.
Secara
umum, uang elektronik adalah alat pembayaran yang sah berdasarkan
ketentuan Bank Indonesia (BI) dan tidak terdapat perbedaan signifikan
dalam fungsinya dengan uang kertas dan uang logam. Lalu apakah isi ulang
uang elektronik ini termasuk jual beli mata uang?
Menurut Aziz,
secara umum proses isi ulang uang elektronik adalah pertukaran atau jual
beli mata uang. Pertukaran atau jual beli mata uang baik antar mata
uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis dikenal dengan
istilah sharf. DSN-MUI telah mengeluarkan pendapat syariah terkait sharf melalui Fatwa DSN nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Transaksi
jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan apabila
transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama
dan secara tunai (attaqabudh). "Dalam perkembangannya, produk
uang elektronik yang bersertifikat syariah dari DSN MUI secara umum
menggunakan kaidah fatwa di atas," tutur Aziz.
Skema syariah yang dilakukan adalah fee yang didapatkan penerbit bukan dari transaksi yang dilakukan, melainkan mendapatkan fee dari biller atau agen karena membantu membayarkan.
Terkait
biaya isi ulang yang saat ini sedang diatur oleh Bank Indonesia (BI),
khusus untuk uang elektronik bank syariah harus menggunakan kaidah
seperti di atas karena belum ada fatwa baru yang terbit terkait biaya
isi ulang ini. "Isi ulang yang dikenakan biaya bisa masuk dalam kategori
riba yang dilarang secara Syariah," kata Aziz.
Lebih lanjut ia
menuturkan, pertukaran Rupiah (uang kertas) dengan Rupiah (uang
elektronik) maka berlaku hukum sharf, yaitu harus senilai (sama
nilainya) dan tunai. Jika ada kelebihan dari diantara salah satu rupiah
maka kelebihan itu cenderung menjadi riba.
Jika seseorang
melakukan isi ulang uang elektronik, misalkan dengan menggunakan uang
kertas Rp 50 ribu,-, akan tetapi saldo yang tersimpan dalam chip uang
elektronik hanya sebesar Rp 49.000, maka kelebihan Rp 1.000,- yang
diterima penerbit kartu adalah dikategorikan riba. Sama halnya dengan
isi ulang Rp 50 ribu,- diharuskan membayar Rp 51.000,-.
"Pendapatan penerbit seharusnya bisa dikembangkan dari sumber yang lain seperti fee dari agen atau fee membership seperti dalam ketentuan kartu kredit syariah," ujar Aziz.
Sebelumnya
Bank Indonesia (BI) menyebutkan rencana menerbitkan ketentuan biaya isi
ulang uang elektronik. Sementara itu saat ini DSN MUI sedang menyusun
fatwa mengenai uang elektronik syariah. []
Sumber: Republika
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar