Pangsa pasar industri perbankan syariah terus meningkat dan
meninggalkan jebakan di bawah 5 persen. Hingga Juli 2017, total aset
perbankan syariah sudah mencapai Rp 388,65 triliun atau berkontribusi
5,46 persen terhadap aset perbankan nasional.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida,
menjelaskan pertumbuhan perbankan syariah tidak hanya terjadi dari sisi
aset yang bertumbuh 23,79 persen (year on year/yoy), namun juga dari sisi dana pihak ketiga (DPK) dan juga pembiayaan.
Tercatat, hingga Juli 2017, pembiayaan perbankan syariah bertumbuh
19,99 persen (yoy) ke angka Rp 271,83 triliun dan DPK meningkat 26,34
persen ke angka Rp 312,91 triliun.
Menurut Nurhaida, pertumbuhan ini bisa terjadi karena perbankan syariah sering dianggap sebagai leader dalam industri jasa keuangan syariah karena merupakan industri yang pertama lahir dan tumbuh dalam keuangan syariah.
Di samping itu, perbankan syariah merupakan industri yang langsung
bersentuhan dengan sektor riil, sehingga diharapkan dapat menjadi
lokomotif pembangunan ekonomi syariah dan ekonomi nasional.
“Untuk dapat mewujudkan perannya sebagai penggerak ekonomi syariah,
maka perbankan syariah harus dapat bersinergi dengan Industri Keuangan
Non Bank (IKNB) syariah dan pasar modal syariah dalam rangka
mengoptimalkan potensi ekonomi syariah Indonesia,” ujarnya di Jakarta,
Rabu, 20 September 2017.
Tiga Pilar Pengembangan Keuangan Syariah
Dalam membangun serta mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah,
industri jasa keuangan syariah harus dapat memanfaatkan dinamika ekonomi
domestik dan mengambil peran yang lebih besar dalam pembangunan
nasional.
Untuk mewujudkan hal ini, OJK memiliki tiga pilar utama arah
pengembangan sektor jasa keuangan syariah di Indonesia yang merupakan
bagian dari Master Plan Jasa Keuangan Indonesia 2015-2019.
Pilar pertama adalah stabil. OJK menjaga stabilitas sistem
keuangan termasuk mengatur serta mengawasi implementasi prinsip-prinsip
syariah pada lembaga keuangan syariah sebagai landasan bagi pembangunan
yang berkelanjutan.
Sektor jasa keuangan syariah harus memiliki daya tahan memadai dalam
mengantisipasi goncangan yang dapat muncul dari lingkungan domestik
maupun eksternal.
“Untuk menjaga stabilitas tersebut maka OJK akan mengambil
langkah-langkah yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan atau
resiliensi,” papar Nurhaida.
Pilar kedua adalah kontributif artinya mendorong sektor jasa
keuangan syariah berkontribusi lebih besar dalam mendukung percepatan
ekonomi nasional.
“Dalam hal ini kami berharap sektor jasa keuangan syariah dapat
menjadi alternatif sumber pembiayaan BUMN dan program pembangunan
nasional, khususnya dalam pembiayaan sektor prioritas pemerintah seperti
infrastruktur, ketahanan pangan, energi, dan maritim,” ujar dia.
pilar ketiga adalah inklusif, yakni mendukung upaya peningkatan pemerataan kesejahteraan masyarakat serta mengatasi ketimpangan dalam pembangunan nasional.
Untuk mengoptimalkan pengembangan sektor jasa keuangan syariah di
Indonesia, maka diperlukan faktor pendukung sebagai prasyarat
pelaksanaannya.
Faktor pendukung tersebut adalah pemenuhan kuantitas dan kualitas SDM
di sektor jasa keuangan syariah serta pengawas lembaga jasa keuangan
syariah dan yang kedua adalah pemanfaatan teknologi informasi dalam
kegiatan sektor jasa keuangan syariah.
“Faktor pendukung ini memiliki peran yang sangat penting dalam
pengembangan sektor jasa keuangan syariah di Indonesia, karena merupakan
jawaban dari tantangan yang hingga saat ini masih dihadapi oleh
industri keuangan syariah,” ujar Nurhaida. (K09)
Sumber: Bareska
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar