YOGYAKARTA -- Keuangan syariah di Tanah Air memiliki kans untuk terus
bertumbuh. Salah satu bekal adalah populasi masyarakat Muslim di
Indonesia yang begitu besar. Kendati demikian, keuangan syariah masih
memiliki tantangan di berbagai lini.
Anggota Dewan Komisioner
Lembaga Penjamin Simpanan Destry Damayanti menjelaskan, Indonesia
memiliki peluang untuk menjadi pusat keuangan syariah dunia. Hal
tersebut sebagaimana keinginan Presiden Joko Widodo yang disampaikan
dalam sejumlah kesempatan.
"Mengingat Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar,"
ujarnya dalam seminar nasional bertajuk 'Perbankan Syariah Setelah 20
Tahun Krisis' di Yogyakarta, Jumat (13/10).
Potensi lain adalah
Indonesia memiliki institusi keuangan syariah terbanyak di dunia.
Berdasarkan data LPS, saat ini Indonesia memiliki 13 Bank Umum Syariah
(BUS), 21 Unit Usaha Syariah (UUS), 167 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS), 58 asuransi syariah, tujuh modal ventura syariah, dan lebih dari
5.000 lembaga keuangan mikro syariah.
Sedangkan dari sisi
nasabah, lanjut dia, saat ini jumlah nasabah sekitar 23 juta nasabah
atau hampir setara total populasi masyarakat Malaysia. Walaupun dari
sisi jumlah terlihat besar, jika dibandingkan total populasi Indonesia,
porsinya masih kecil, yaitu sekitar 8,8 persen.
"Dari sini terlihat bahwa peluang untuk tumbuh masih sangat besar.
Karena masih banyak peluang yang bisa dioptimalkan. Jika bisa
ditingkatkan menjadi 20 persen saja itu sudah sangat luar biasa," kata
Destry.
Untuk dapat meraih peluang yang sangat besar itu, dia
mendorong agar lembaga keuangan syariah harus melakukan penguatan
kelembagaan. Meskipun begitu, Destry menyadari, hingga saat ini, lembaga
keuangan syariah masih memiliki beberapa tantangan mulai dari
permodalan, keterbatasan SDM, dan masalah good governance.
Selain
itu, Destry juga menyadari masih perlunya upaya sosialisasi kepada
masyarakat mengenai keuangan syariah. Sebab, pemahaman masyarakat
tentang keuangan syariah memang masih perlu ditingkatkan. Indeks
literasi keuangan syariah masih berada di angka 8,11 persen, sedangkan
indeks literasi keuangan nasional 29,66 persen.
Sementara indeks
inklusi keuangan syariah baru 11,06 persen, jauh dari indeks inklusi
keuangan nasional yang mencapai 67,82 persen. Imbasnya, market share perbankan syariah baru mencapai 5,32 persen per 2016. Maka itu, peningkatan literasi keuangan syariah merupakan keharusan.
Lebih
lanjut, Destry mengingatkan, lembaga keuangan syariah juga harus
menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku konsumen. Perkembangan
fintech, baik itu berupa e-money, payment system, maupun produk kredit, seperti peer to peer lending dan crowdfunding jadi tantangan.
Perubahan
juga tampak pada sektor industri retail karena pengurangan tenaga
kerja. Kriteria kebutuhan pekerjaan mengarah kepada pekerja yang dapat
menunjang fintech. Oleh karena itu, Destry mendorong agar perbankan
harus melakukan langkah antisipasi dengan tepat. "Sehingga fintech dapat
berkontribusi positif bagi perbankan, termasuk perbankan syariah," ujar
Destry.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh
Santoso mengimbau kepada pelaku industri keuangan syariah untuk mampu
bersaing dengan konvensional, dalam hal pembaruan produk. Industri
keuangan syariah diminta untuk juga agresif mengadaptasi perkembangan
teknologi dalam produk dan jasa keuangannya. "Sehingga masyarakat
berminat pindah ke syariah," ujar mantan komisaris utama PT Bank Mandiri
Persero Tbk ini.
Wimboh mengatakan, lebih baik industri keuangan
syariah memikirkan upaya untuk meningkatkan kontribusi terhadap
pemerataan perekonomian. Beberapa upayanya adalah dengan meningkatkan
pembiayaan untuk segmen mikro. "Boleh saja perbankan syariah juga
menyalurkan pembiayaan ke segmen korporasi seperti infrastruktur, tetapi
harus terukur dan tidak berlebihan. Sedangkan untuk konsumer risikonya
terlalu besar dan berpotensi meningkatkan rasio pembiayaan bermasalah,"
kata Wimboh.[]
Sumber:Republika
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar