YOGYAKARTA -- Industri keuangan syariah dianggap sebagai industri yang 
sangat berpeluang di Indonesia. Mengingat, populasi masyarakat muslim di
 Indonesia menduduki posisi terbesar. Oleh karena itu, berdasar data 
perkembangan keuangan syariah, industri ini masih berpeluang untuk 
tumbuh dengan pesat.
Hal itu diamini oleh Anggota Dewan 
Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Destri Damayanti. Apalagi, 
lanjut Destri, Presiden Joko Widodo juga sempat berpesan bahwa Indonesia
 harus bisa menjadi pusat keuangan syariah dunia.
"Mengingat, 
Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar. Selain itu, 
Indonesia juga memiliki institusi keuangan syariahn terbanyak di dunia,"
 ujarnya dalam Infobank Sharia Awards 2017 di Yogyakarta pada Jumat 
(13/10).
Berdasar data LPS, saat ini Indonesia memiliki 13 Bank 
Umum Syariah (BUS), 21 Unit Usaha Syariah (UUS), 167 Bank Pembiayaan 
Rakyat Syariah (BPRS), 58 Asuransi Syariah, 7 modal ventura syariah dan 
lebih dari lima ribu lembaga keuangan mikro syariah.
Sedangkan 
dari sisi nasabah, lanjut dia, saat ini jumlah nasabah total sekitar 23 
juta nasabah atau hampir setara total populasi masyarakat Malaysia. 
Meski size-nya memang terlihat besar, namun ia menilai, jika 
dibandingkan dengan total populasi Indonesia, itu merupakan porsi yang 
masih cukup kecil.
"Dari sini terlihat bahwa peluang untuk tumbuh
 masih sangat besar. Karena masih banyak peluang yang bisa dioptimalkan.
 Saat ini total nasabah masih sekitar 8,8 persen dari total penduduk 
Indonesia, jika bisa ditingkatkan menjadi 20 persen saja itu sudah 
sangat luar biasa," kata dia dalam kegiatan yang juga dikemas dengan 
seminar nasional bertajuk 'Perbankan Syariah Setelah 20 Tahun Krisis'.
Untuk
 dapat meraih peluang yang sangat besar itum ia pun mendorong agar 
lembaga keuangan syariah harus melakukan penguatan kelembagaan keuangan 
syariah. Meski ia menyadari bahwa hingga saat ini lembaga keuangan 
syariah masih memiliki beberapa tantangan mulai dari permodalan, 
keterbatasan SDM dan soal good governance.
Selain itu, 
Destri juga menyadari masih perlunya upaya sosialisas kepada masyarakat 
mengenai keuangan syariah. Pasalnya, pemahaman masyarakat tentang 
keuangan syariah memang masih perlu ditingkatkan.
Apalagi, saat 
ini masyarakt telah mengalami perubahan perilaku konsumen. Hal ini 
terkait dengan perhatianya terhadap perkembangan financial technology (fintech). Saat ini kita sedang menghadapi persaingan yang tak terlihat," ucapnya.
Hal ini berkaitan dengan semakin pesatnya perkembangan fintech, baik itu berupa e-money, payment system, maupun produk kredit seperti peer to peer lending dan crowdfunding. Menurutnya, semua hal itu telah berkembang dan menjadi sorotan serius bagi regulator.
Terlebih,
 lanjut dia, semakin ke sini volume nya kian besar. Ia pun menilai hal 
ini berpengaruh terhadap sektor industri retail, karena adanya 
pengurangan tenaga kerja.
Berdasar pengamatanya, kini sebagian 
masyarakat yang biasanya membeli barang melalui toko konvensional, mulai
 lebih senang melalui toko online. Menurutnya, telah terjadi 
peralihan perilaku konsumen dan akan berdampak juga pada adanya 
perbedaan kriteria kebutuhan pekerjaan, yakni pekerjaan yang lebih 
mengaraha pada pekerjaan penunjang fintech.
Oleh karena itu, ia 
mendorong agar perbankan harus melakukan langkah antisipasi dengan 
tepat. Sehingga fintech dapat berkontribusi positif bagi perbankan, 
termasuk perbankan syariah.
Menurutnya, saat ini iklim ekonomi 
masih sulit. Hal ini terjadi karena ada tekanan global dan harga 
komoditas masih rendah. Sementara, Indonesia adalah negara yang bertumpu
 pada komoditas. Konsumsi pun bergantung dari harga komoditas. "Tak 
heran jika daya beli masyarakat lemah. Tumbuh memang, namun stagnan di 
angka 4,9 persen," kata dia.
Sejauh ini, lanjut dia, sudah ada 
lima BPRS yang ditutup, namun belum ada Bank Umum Syariah yang ditutup. 
Sedangkan BPR konvensional ada 69 yang telah ditutup dan satu bank umum 
yang telah ditutup.
Demi mendorong perkembangan keuangan syariah,
 ia mengatakan bahwa saat ini sedang ada pembahasan dengan Majelis Ulama
 Indonesia (MUI) tentang besaran bagi hasil yang lebih fair dan 
kompetitif.[]
Sumber:Republika
Langganan:
Posting Komentar
                            (
                            Atom
                            )
                          







0 komentar:
Posting Komentar